Saat ini, di Kabupaten Jayapura sedang diselenggarakannya Festival Danau Sentani di Kompleks Wisata Kalkote, Kampung Harapan, Distrik Sentani Timur.. Event tahunan ini dibuka pada 19 Juni dan akan berakhir pada 23 Juni. Pada hari ketiga penyelenggaraan Festival Danau Sentani tersebut dan pada saat yang bersamaan juga dirayakan dan dilaksanakan Festival Sagu di Kampung Kwadeware yang juga berada di Kabupaten Jayapura. Festival Sagu ini memang belum sekeren dan setenar Festival Danau Sentani yang sudah 10 kali dilakukan. Festival Sagu ini baru pertama kali dirayakan dan dilaksanakan. Festival ini dirayakan dengan hari Sagu, tanggal 21 Juni.
Festival perdana Sagu ini mengangkat tema “Sagu Hidupku”. Festival ini bukan saja menghadirkan suku-suku yang berada di daerah Kabupaten Jayapura tetapi juga menghadirkan masyarakat adat dari suku lainnya yang juga, sekurang-kurangnya memiliki makan pokok dari tepung Sagu, seperti suku Malind (Merauke) dan Korowai (Yahukimo). Sagu adalah hidup karena sagu seperti ‘seorang mama’ yang memberikan kehidupan bagi anak-anaknya.
“Tujuan dirayakan dan dilaksanakan hari serta festival sagu ini adalah mewujudkan kebun sagu yang mempunyai nilai sejarah, religi dan nilai adat yang harus dipertahankan agar hutan masyarakat tidak dimasuki oleh industri. Sagu dalam Bahasa Sentani ‘Walino’ (Pohon Kehidupan), itu berarti semua orang akan bersatu kalau memakan sagu dan mereka akan bilang bahwa itu merupakan hidup. Ketika orang berpikir bahwa mereka lahir dan tumbuh besar dari sagu maka mereka akan sadar bahwa itu merupakan bagian dari jati diri mereka,” jelas Marshal Suebu, Ketua Komunitas Pegiat Sagu Papua, di tempat festival sagu, Kampung Kwadebware, Rabu (21/6).
Perayaan ini dilakukan mulai pagi dengan memasuki hutan untuk memangkur pohon sagu. Selanjutnya tepung yang sudah jadi diolah menjadi Papeda, Ouw Kempeng (Sagu asar), Papeda bungkus, Sagu Bakar, Sagu sep dan lain sebagainya. Pada kesempatan ini juga, setiap pengunjung yang datang ke festival disuguhkan dengan berbagai macam cara mengolah tepung sagu, mencicipi hasil olahan, menikmati rumah pohon Suku Korowai, menanam anakan pohon sagu. Masyarakat yang adat yang ada dengan senyum menjelaskan setiap pertanyaan dari para peserta yang berkunjung ke festival tersebut.
“Anakan sagu yang ditanam ini juga tidak sembarang diambil. Kita harus tunggu pohon sagu yang induknya dipanen dulu baru kita bisa ambil tunas atau anak sagu yang berada di sampingnya. Tidak seperti pohon pisang yang bisa diambil anakannya sebelum kita panen buahnya. Sagu ini juga memiliki beberapa jenis dan kualitasnya. Ada empat jenis kualitas sagu yang baik yakni Yebha, Bata, Ojokuru dan Wani. Keempat jenis ini yang biasa kami tanam di dusun ini. Sagu ini tidak lepas dari kehidupan kami. Ini sudah nenek moyang kami. Di dalam tradisi adat, kalau kami tidak punya sagu berarti anak perempuan akan dimaki atau dijelekan dari pihak laki-laki ketika mau kawin. Dusun sagu dan anak perempuan itu tidak bisa dipisahkan. Kami juga tidak sembarang tebang”, jelas Bapak Lot Tungkoye yang berasal dari Kampung Kwadeware yang juga merupakan Ketua Kelompok Yebha Kerja.
“Pohon sagu ini mempunyai fungsinya. Selain masyarakat mengkonsumsinya sebagai papeda, ampasnya dibuang untuk mendapatkan jamur, ujung sagunya kemudian digunakan untuk mendapatkan ulat sagu. Daunnya digunakan untuk atap rumah, gabanya sebagai dinding rumah dan kulitnya sebagai lantai. Jadi semuanya, di dalah tubuh Pohon Sagu itu berguna bagi kami”, lanjut Bapak Lot yang menjelaskan manfaat pohon sagu.
Festival ini telah disiapkan selama kurang lebih satu bulan. Semua yang terjadi di festival adalah secara alami. Para pengunjung dimanjakan dengan keaslian bagaimana mengolah sagu menjadi makanan, perlengkapan masak tradisional yang digunakan. Hal lain yang mau diangkat di dalam perayaan ini adalah nilai-nilai luhur yang mulai terkikis oleh perkembangan yang ada.
“Jadi konsep Kwadeware pada hari ini adalah datang untuk memberi bukan datang untuk mengambil ataupun menerima. Istilah ‘Bulau’ dalam bahasa Sentani yang artinya gotong royong sudah hampir terkikis habis. Ketika orang disana membuat rumah di dusun sagu dengan menggali potensi gotong royong dengan sendirinya hati akan tergerak karena mereka sudah dibesarkan oleh sagu”, ungkap Bapak Marshal Suebu.
Jelas bahwa festival ini untuk menegur semua masyarakat dan pemerintah akan pentingnya menjaga dan melestarikan Pohon Sagu. Di Kabupaten Jayapura memang telah mempunya sebuah Perda tentang Sagu. Walaupun demikian, Perda ini sebaiknya bukan hanya berlaku di Kabupaten Jayapura tetapi berlaku di Provinsi Papua dan Tanah Papua. Peraturan Daerah Tentang Sagu ini memang perlu direvisi untuk memberikan bobot baru di dalam menjaga, melestarikan dan merawat Sagu dan kearifan lokal yang tergantung di dalam Pohon Sagu tersebut.
“Hanya di Kabupaten Jayapura yang mempunyai Perda tentang Sagu, sejak 17 tahun yang lalu. Walaupun sekarang ia (Perda) mati suri. Tetapi tidak apa, hal itu perlu kita catat bahwa pihak pemerintah kabupaten punya upaya untuk melestarikan Sagu. Semoga dengan perayaan ini, kita dapat membuat sebuah revisi yang penting di dalam Perda tersebut. Mungkin ada yang kurang, kita bikin yang lebih baik lagi”, jelas Bapak Marshal Suebu.