Oleh Theo van den Broek
Mengikuti perkembangan sekitar penembakan oleh aparat keamanan di Deiyai sudah tentu kami mengapresiasi sikap Kapolda dengan jelas menyatakan bahwa tindakan-tindakan aparat keamanan di Deiyai benar-benar melanggar prosedur maupun hak-hak asazi manusia. Pada kesempatan yang sama Kasat Brimob Papua mengakui bahwa penembakan itu dilakukan oleh anggotanya[1]. Pihak Polda Papua sudah mengambil tindakan berupa penarikan sejumlah anggotanya[2] yang selanjutnya akan menghadapi pengadilan. Sekaligus sejumlah personil Brimob baru sudah dikerahkan ke wilayah Deiyai. Syukurlah mereka yang terlibat dalam penembakan akan menghadapi pengadilan dan diharapkan proses itu pun akan transparan, terbuka dan ada vonis yang mencerminkan sangat beratnya pelanggaran tersebut.
Namun penyelesaian “kejadian Deiyai” belum rampung kalau hanya diperhatikan dari segi hukum seperti disebutkan di atas. Dalam sejumlah tanggapan terhadap “kejadian Deiyai” perhatian kita semua ditarik pada sejumlah unsur lain yang sangat penting dan yang akhirnya memungkinkan terjadinya penembakan seperti di Deiyai.
Pertama: dalam tanggapan Pater Neles Tebay, Pr[3], tanggapan Gereja Katolik melalui Uskup Keuskupan Timika Mgr. Jhon Philip Saklil, Pr[4] dan tanggapan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Gereja Kingmi[5] tergambar bahwa kejadian di Deiyai dikaitkan dengan kejadian-kejadian sejenis di wilayah ini selama tahun-tahun terakhir ini. Jumlah ‘kejadian sejenis’ sangat banyak. Dengan kata lain ‘kejadian Deiyai’ bukan ‘kasus terisolir’ atau kejadian tersendiri. Ada banyak kejadian yang sifatnya sama, dan ternyata terulang sehingga menjadi pengalaman pahit masyarakat Papua. Maka, ada sesuatu yang lebih struktural yang perlu diperbaiki kalau mau mengatasi pola kekerasan yang menjadi kenyataan sampai saat ini.
Kedua: dalam segala pelaporan serta tanggapan diangkat kaitan antara kehadiran perusahaan dan praktiknya yang mengandalkan aparat keamanan demi kepentingannya. Kaitan antara investor/perusahaan dan ‘aparat keamanan’ sudah cukup lama diangkat sebagai suatu persoalan serius dan menghasilkan peningkatan pelanggaran HAM di Papua secara nyata. Bukan saja di Deiyai, namun sama persoalannya di Merauke, Nabire dan pelbagai wilayah lain dimana investor cenderung bersandar pada pihak keamanan dan sebaliknya.
Ketiga: salah satu unsur yang tidak kalah pentingnya adalah penilaian terhadap peranan pimpinan pemerintah sipil yang ternyata kurang berfungsi di sejumlah wilayah di Papua. Pemerintah yang tidak hadir di tempat, kurang mampu dan/atau sudah terikat pada kepentingan pihak lain, dan sibuk memperjuangkan ‘kursinya’ daripada melayani masyarakatnya. Terutama dalam tanggapan pimpinan Gereja Kingmi yang sangat mengetahui keadaan masyarakat di wilayahnya unsur ini sangat ditonjolkan. Kelesuan dan kelumpuhan di tingkat pemerintah sipil menyediakan ruangan seluas-luasnya bagi aparat keamanan untuk bertindak tanpa diawasi dan diarahkan.
Keempat: dalam setiap demo/aksi damai berkaitan dengan kejadian penembakan (Paniai, Deiyai, dll) terdengar ungkapan seperti ‘kami ditembak saja seakan tidak ada harga’,’kami diam ditembak mati, kami bicara ditembak mati’, ‘kami orang Papua dilahirkan untuk ditembak mati?’ Sudah tentu orang asli Papua merasa – dengan alasan yang kuat – bahwa mereka tidak dihargai, tidak diakui. Orang asli Papua tidak diterima sebagai orang semartabat dengan warga manapun di Indonesia dan tidak diakui sebagai ‘tuan rumah’ di tanahnya sendiri, di Tanah Papua.
Dengan memperhatikan keempat unsur struktural di atas sudah menjadi jelas bahwa tidak begitu mudah untuk menyelesaikan ‘kasus Deiyai’. Kejadian Deiyai bukan suatu insiden tersendiri, namun suatu gejala dalam pola kebijakan umum yang turut ditentukan oleh keempat unsur yang disebutkan di atas. Dengan kata lain, kita menghadapi suatu masalah struktural yang juga hanya dapat diselesaikan secara struktural.
Perlu diakui bahwa tidak ada resep untuk mengobati keadaan ini. Yang sangat dibutuhkan adalah kesiapan serta kemauan sejati (political will) segala pihak untuk mencari jalan keluar bersama. Maka, perlu keterbukaan, kesediaan untuk mengakui bahwa memang ada masalah struktural. Semua pihak secara bersama duduk setara dan membuka ruang dialog yang betul. Suatu dialog yang tidak dihalangi oleh ‘mentalitas harga mati’ dari pihak manapun.
Intinya: persoalan di Papua tidak dapat diselesaikan dengan kekerasan, tidak dapat diselesaikan dengan menenggelamkan ‘bangsa Papua’ ke dalam lautan migran. Persoalan Papua tidak dapat diselesaikan dengan menambah investor atau peningkatan infrastruktur. Penyelesaian persoalan di Papua sebaiknya berdasarkan suatu pengakuan atas hak eksistensi kita masing-masing, penghargaan atas martabat setiap orang, atas hak kebebasan mengungkapkan pendapat, dan atas kemauan bersama yang ihklas untuk mencari kebenaran dan sebuah solusi yang adil.
Penulis adalah Mantan Direktur SKP Keuskupan Jayapura
[1]http://tabloidjubi.com/artikel-8475-penembakan-deiyai–kasat-brimob-polda-papua-mengaku-anggotanya-yang-menembak.html
[2]Ketika kasus penembakan 8 Desember 2014, pihak aparat militer juga menarik pasukannya. Namun proses penyelesaian secara hukum tidak terjadi sampai saat ini. Negara RI dalam hal ini Menkopolhukam berjanji meyelesaiakannya pada tahun 2016 tetapi para pelaku penembakan tidak diproses sampai saat ini. Kedua instansi Polri dan TNI tidak mengakui dan tidak bersedia untuk diperiksa.
[3]http://www.satuharapan.com/read-detail/read/penembakan-di-papua-menambah-antipati-terhadap-ri
[4]http://indonesia.ucanews.com/2015/08/31/uskup-timika-kecam-penembakan-aparat-tni-di-gereja/, surat pernyataan sikap dari Gereja Katolik Keuskupan Timika dan http://suarapapua.com/2017/08/05/uskup-timika-aparat-indonesia-masih-terus-praktekkan-kejahatan-di-papua/
[5]Bdk. Laporan Gereja Kingmi tentang penembakan di Deiyai