FREEPORT AKAR PERSOALAN DI TANAH PAPUA

“TUTUP FREEPORT”

Sejak berdirinya Bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945, kontraversi mengenai masa depan Papua (dalam Bingkai NKRI) diperdebatkan oleh para pendiri Negara Indonesia. Namun keinginan dalam mendominasi Sumber Daya Alam Papua, maka Papua tegas dipertahankan. Di samping itu, secara de facto Papua yang merupakan bagian dari kekuasaan Belanda, sejak dimanifestokan pada tahun 1828, tetap dipertahankan oleh Belanda sekaligus mempersiapkan kemerdekaan Papua pada tahun 1961. Melihat sikap Belanda tersebut, Indonesia kemudian memainkan peran Non-Blok, dengan mencari bantuan peralatan militer dari negara komunis Soviet dan China yang berpuncak pada operasi Mandala, pada 19 Desember 1961, yang dikenal dengan Trikora alias Tiga Komando Rakyat: 1) Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda, 2) Kibarkan Sang Merah-Putih di Irian Barat, tanah air Indonesia, dan 3) Bersiaplah dimobilisasi guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa; untuk menghusir Belanda. Tindakan Indonesia tersebut guna mencuri simpati sekaligus ketakutan Amerika guna membujuk sekutunya Belanda agar keluar dari Tanah Papua. Melihat situasi tersebut, Amerika lalu memainkan peran diplomatisnya, dengan mempertemukan Indonesia dan Belanda (tanpa Papua), untuk menentukan nasib masa depan Papua, lewat perundingan New York Agreement, dan Roma Agreement pada tahun 1962. Hasil perundingan tersebut menyebabkan Belanda secara perlahan meninggal Papua dan menyerakan Papua ke Indonesia pada 1 Mei 1963.

Namun pasca keluarnya Belanda, Indonesia mengangkat Soekarno sebagai Presiden seumur hidup Indonesia, dengan kekuatan Partai Komunis Indonesia(PKI). Sikap Indonesia tersebut, mendorong Sekutu melancarkan agenda Central Intelligent Amerika(CIA) G30S/PKI, yang menyebabkan terbunuhnya 7 Jenderal dengan tuduhan PKI (Soekarno) dibalik serangan tersebut. Hal itu kemudian memaksa Soekarno menyerahkan kekuasaanyanya kepada Soeharto lewat Surat Perintah 11 Maret 1966. Selanjutnya, tiga pekan setelah Soeharto menjabat presiden Indonesia, tepatnya 7 April 1967 Indonesia lalu melakukan Kontrak Karya (KK) I Penambangan Mineral dan Logam di Papua sebelum diadakan Penentuan Nasib Sendiri pada tahun 1969, Kontrak Karya 1 PT. Freeport Indonesia INC ini berlaku selama 30 Tahun sejak mulai beroperasi, tahun 1973. Dan dicurigai sebagai bentuk terima kasih kepada Amerika.

Langkah selanjutnya dipersiapkanlah Rekayasa Act Free Choice (PEPERA) 1969, yang dihadiri oleh 1025 orang di Papua pada bulan juli – agustus 1969. Setelah itu berlakulah resolusi 2504 “pembangunan di Papua” dalam bayang-bayang 32 Tahun Otoriter Soeharto. Selama masa pemerintahannya Papua dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM), yang menyebabkan tingginya Pelanggaran HAM dan mulusnya Kapitalisme di Papua. Semua kerja Soeharto terhenti ketika diturunkan secara tidak hormat pada 21 Mei 1998 oleh kekuatan Rakyat, akibat ketidakpuasaan rakyat Indonesia.

Reformasi pun bergulir di Indonesia menggantikan pola sentralistik orde baru, dan masalah Politik “Merdeka” Papua kembali mencuat oleh dorongan TIM 100 yang menyampaikan aspirasi merdeka kepada presiden Transisi Indonesia B. J. Habibie. Namun untuk mencegah konflik berkepanjangan di Papua mendorong Intelektual Papua (Akademisi dan LSM) menyusun rancangan Otonomi Khusus bagi Papua, yang dianggap sebagai solusi masalah Papua. Akhirnya, Otonomi Khusus berlaku di Tanah Papua dan sekaligus mempertahankan status quo Indonesia di Papua serta Otonomi Khusus dalih Indonesia untuk memberikan Citra baik Indonesia terhadap dunia internasional, dan sekaligus “mencuci tangan” terhadap kasus kejahatan kemanusiaan selama 32 Tahun pemerintahan Soeharto.

Lebih lanjut, selama 50 Tahun penguasaan Sumber Daya Alam Nemangkawi PT. Freeport, tak ada satupun keuntungan yang berhasil memberikan dampak yang signifikan bagi rakyat Papua sebagai pemilik negeri sekaligus bumi Amungsa. Disamping kenyataan yang hari ini menyengsarakan rakyat Papua di Bumi Amungsa, yakni dihasilkannya Limbah, dirusaknya hutan menjadi lahan tambang dan merusak tatanan sosial masyarakat Amungsa, hingga berujung pemusnahan sistematis akibat mengkonsumsi makanan yang telah terkontaminasi limbah beracun.

Menurut data Ahli Geologi Indonesia, bahwa hingga 50 Tahun Freeport beroperasi (hingga 2017), kekayaan rakyat Papua ini telah dieksploitasi hingga mencapai 1,7 miliar ton, dari total 3,8 miliar ton sejak Kontrak Karya II tahun 1991, dengan presentase 165 biji ton per hari, disamping itu Freeport berhasil merauk keuntungan sebesar 116 Miliar perhari. Selain itu, selama berjalannya Kontrak Karya Freeport, demi stabilitas kapitalis besar ini, Pemerintah Indonesia dijadikan tameng dalam melindung segenap kepentingan dan kedaulatan Freeport atas tanah Papua. Mulai dari pembagian saham, yang setidaknya memberikan keuntungan serta mampu menutup mata Indonesia terhadap persoalan mendasar pada rakyat Papua, hingga TNI/POLRI Indonesia yang dijadikan “anjing penjaga” dalam melindungi dan menghusir setiap penggangu dan mengancam stabilitas Freeport di Tanah Papua. Maka tak heran, sisi kemanusiaan diabaikan demi memuluskan kepentingan investasi Freeport di Tanah Papua. Mulai dari jatuhnya korban TNI/POLRI demi menjaga kepentingan tuannya Freeport serta rakyat pribumi pemilih tanah Amungsa akibat tekanan intimidasi dari apparat militer Indonesia sejak beroparasinya pada tahun 1967.

Selanjutnya, dengan mengabaikan hak keselungan rakyat bangsa Papua, yang menuntut dikembalikannya kedaulatan atas Freeport yang telah direkayasa sejak anekasasi Bangsa Papua, 1 Mei 1963 hingga plebisit PEPERA tahun 1969. Freeport dan Indonesia kembali mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2017 tentang perubahan keempat atas PP No. 23/2010 tentang pelaksanaan  Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, atau UU Minerba, dengan Divestasi 51 persen saham, dan mengubah kontrak karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Namun drama tetap dibuat, antara Freeport dan Indonesia atas bumi Amungsa dengan tetap mengabaikan, rakyat Papua di Bumi Amungsa. Sisi kemanusiaan kembali diabaikan, dengan melihat dinamika yang berkembang di bumi Amungsa akhir-akhir ini, bagaimana Tarik ulur mengenai investasi saham Freeport yang nantinya akan diperpanjang atau tidak pada 2021 nanti, maka Briptu Berry Pratama dan Brigadir Firman dikorbankan demi pengamanan penuh atas wilayah Freeport, dan merupakan kilas balik atas peristiwa 16 Maret 2006 dimana 5 parjurit TNI/POLRI demi kepentingan yang sama yakni, mulusnya Keberadaan Freeport atas tanah Papua. Rakyat Papua yang melawan untuk mengembalikan hak kedaulatannya atas Freeport, dituduh separatis, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), dan stigma lainnya demi melancarkan serangan militer se-sporadis mungkin terhadap rakyat Papua yang telah distigma dengan berbagai hal yang berujung pelanggaran HAM dengan dalih pengamanan kedaulatan NKRI dan memuluskan keberadaan Freeport di Tanah Papua.

Serta yang sangat mengherankan adalah tidak diberikannya akses terhadap wartawan atau media local dalam meliput setiap kejadian yang berkembang di Tembagapura tersebut dan tentu Pemeritah dan TNI/POLRI “berani” melanggar kode etik jurnalis untuk menyembunyi apa yang sebenarnya terjadi di areal konflik tersebut. Kemudian dari konflik “tersembunyi” tersebut, Pemerintah Indonesia lewat TNI/POLRI membangun opini penyanderaan terhadap 1334 warga di kampung banti, utikini dan kinambeli kawasan pertambangan Freeport. Hingga berujung dievakuasinya 334 warga non-Papua yang patut kita pertanyakan keberadaannya di lokasi yang menjadi konflik belakangan ini, mulai dari: darimana mereka masuk? Atas izin siapa? Dan untuk apa mereka berada disana?

Sehingga apapun yang terjadi di tanah Nemangkawi, Tembagapura, Freeport. Maka kami mahasiswa pemuda dan rakyat, yang tergabung dalam Front Persatuan Rakyat, menyatakan bahwa untuk mencegah konflik kemanusiaan yang berkepanjangan, maka kami:

  1. Meminta tutup Freeport, dan kembalikan hak kedaulatan rakyat Amungsa demi mencegah konflik kemanusiaan yang berkepanjangan di Freeport Tembagapura –Timika;
  2. Maminta untuk diberikannya akses bagi wartawan dan media Internasional, demi objektifitas konflik di Tembagapura. Dan meminta TNI/POLRI untuk menghormati kode etik jurnalistik, demi berimbangnya informasi yang berkembang di Tembagapura Freeport – Timika;
  3. Menganggap Pemerintah Indonesia gagal dalam mensejahterakan rakyat Indonesia yang nasibnya terabaikan di kawasan luar Papua, sehingga berdampak pada mobilisasi masyarakat Indonesia ke Papua yang tidak terkontrol, yang berujung pada ditemukannya masyarakat illegal di kawasan Tembagapura, sebanyak 334 orang.

Demikian pernyataan ini kami buat, dengan segala kesadaran sebagai pewaris negeri bangsa Papua. Kiranya Allah menyertai dan melindungi segenap rakyat di atas Tanah Papua.

 

        Penanggung Jawab Umum                                                                            Koordinator Umum

  Presiden Mahasiswa Universitas Cenderewasih                                     Front Persatuan Rakyat

                                                                                                                                           “Tutup Freeport”

  

           Paskalis Boma                                                                                                  Womsiwor Samuel

 

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *