Oleh: Alexandro Rangga, OFM
Per-5 Februari 2018, status KLB Campak di Asmat dicabut. Ada beberapa catatan penting berkaitan dengan hal ini.
Pertama, perhatian pemerintah pusat begitu luar biasa. Beberapa menteri dan petinggi negara datang ke Asmat untuk melihat langsung KLB ini. Sayangnya, mulai dari menteri sosial samapai Panglima TNI hanya datang sebentar bahkan tidak sampai hitungan jam, melambai-lambai tangan, ke RSUD, gendong-gendong anak-anak, foto-foto sebentar lalu pulang. Ironisnya setelah itu mengeluarkan statemen seolah-olah sudah keliling Asmat. Memang, menteri itu punya seabrek kesibukan tapi kalau datang hanya untuk singgah sebentar mendingan tdk usah karena hanya merugikan anggaran negara. Mendingan anggaran untuk perjalanan dinas itu disumbangkan ke pemerintah daerah.
Kedua, pencabutan status ini menyisakan pertanyaan berikut: bagaimanakah dengan status gizi buruk? Secara medis, anak-anak mudah terpapar campak krn gizi buruk yang berakibat pada lemahnya sistem kekebalan tubuh. Jadi persoalan mendasarnya ialah gizi buruk bukan campak. Toh tanpa campak pun, masyarakat memang sudah gizi kurang atau gizi buruk. Bahkan kalau mau jujur, bukan hanya buruk dalam aspek kesehatan tetapi hampir semua aspek kehidupan termasuk pendidikan, ekonomi maupun budaya berstatus buruk. Bahwa tanpa campak masyarakat sudah gizi kurang atau gizi buruk mengindikasikan buruknya asupan gizi masyarakat. Buruknya asupan gizi ini, pertama-tama bukan dipengaruhi oleh ketahanan pangan masyarakat tetapi oleh pola konsumsi masyarakat yang berubah. Ketahanan pangan berupa Sagu di hutan-hutan dan ikan di sungai-sungai Asmat masih cukup untuk tujuh generasi. Tetapi yang menjadi perhatian ialah pola konsumsi masyarakat yang dipengaruhi oleh pola budaya masyarakat peramu, membuat masyarakat meramu makanan-makanan instan yang tidak bergizi yang dijual di kios-kios semisal makanan kaleng, supermi maupun minuman energi seperti kuku bima atau extra joss. Pola konsumsi makanan instan ini seolah-olah dipelihara dengan banyaknya dana-dana yang dikucurkan ke desa-desa dengan pola bagi-bagi uang. Jangan lupa pula catatan banyaknya makanan expire/kadaluarsa yang dijual bebas tanpa kontrol BPOM. Pola ini makin rentan pasca mengalirnya bantuan-bantuan ke masyarakat ialah makin kentalnya mental peramu. Masyarakat makin berleha-leha di kampung dengan ratusan ton makanan instan, beras raskin maupun biskuit-biskuit. Asupan gizi makin kurang. Belum lagi bantuan berupa uang. Ujung-ujungnya bukan masyarakat yang dibantu tetapi pedagang (pendatang) yang diuntungkan. Ini bukan soal masyarakat malas dan pendatang rajin tapi soal pembangunan yang berkearifan lokal, berpihak pada masyarakat asli. Aspek lain yang menjadi catatan ialah resistensi terhadap obat. Sambil melakukan vaksinasi campak maupun vaksinasi lengkap juga dilakukan pengobatan terharap masyarakat. Masyarakat Asmat dalam batas tertentu agak alergi dengan pengobatan medis. Obat yang diberi belum tentu diminum hingga tuntas. Ini amat berbahaya bagi sistem kekebalan tubuh karena penyakit menjadi resisten terhadap obat.
Ketiga, solusi pasca dicabutnya status KLB Campak Asmat tetap mesti dipikirkan. Pembangunan sarana dan prasarana kesehatan mutlak perlu dengan memperhatikan edukasi kepada masyarakat akan pentingnya kesehatan (pendidikan, ekonomi dan budaya). Sambil mengingat pernyataan Elisa Kambu, Bupati Asmat, “Jangan kasih kami uang, tapi bangun puskesmas.” Statemen bupati ini tepat sasar. Memang benar ada banyak dana yang dikucurkan ke Papua. Namun dana-dana tersebut tidaklah cukup. Alasannya ialah dana untuk satu puskesmas di Asmat, cukup untuk membangun sepuluh puskesmas di Jawa. Selain itu pemerintah wajib memastikan adanya petugas medis yang aktif dan ada di tempat, terlepas dari masyarakat memanfaatkan layanan publik tersebut atau tidak!!