Oleh: Bernard Koten
Wajah mereka kelihatan gembira, senang dan bahagia. Karena bagi mereka perjuangan itu sudah mendapatkan imbalannya. Sebuah pasar permanen yang katanya bergaya modern telah dibangun di jantung Kota Jayapura, di Jln. Percetakan Jayapura, tepatnya di depan Hotel Aston Jayapura. Siapa sangka perjuangan sejak tahun 2003 itu harus melewati banyak rintangan sampai pada peresmian Pasar Permanen tersebut yang bertepatan dengan HUT Kota Jayapura, 7 Maret 2018. Walaupun demikian masih ada persoalan dan ketidakberesan di dalam proses peresmian tersebut.
Kilas Balik Perjuangan Pasar
Mama-mama pedagang asli Papua yang berjualan di sekitaran Pasar Ampera Jayapura harus ‘dipindahkan’ dengan alasan ketertiban dan keindahan Kota Jayapura. Berdasarkan SK Walikota Jayapura No. 6 tahun 2004, mama-mama yang berjualan di sepanjang jalan Achmad Yani, Jl. Matahari, Jl. Irian, Jl. Berdikari, Jl. Pembangunan, Jl. Nidya Karya dan Jl. Halmahera untuk sementara waktu (2 tahun) berjualan di Lokasi Depan Ruko Pasifik Permai. Hal ini dilakukan sambil menunggu pembangunan Pasar Yotefa di Abepura. Setelah Pasar Yotefa dibangun, mama-mama diminta untuk pindah ke Pasar Yotefa. Janji Pemkot Jayapura saat itu untuk memberikan tempat ke mama-mama itu tidak dilaksanakan. Karena tidak puas dengan janji Pemkot Jayapura, mama-mama pergi ke DPR Kota Jayapura meminta agar bisa memberikan tempat jualan di Pelni dan Jl. Matahari. Jumlah mama-mama saat itu adalah 314 orang.
Pada 6 September 2004, mama-mama pedagang asli yang berjualan di Jl. Matahari dan depan Gelael terpaksa digusur oleh Dinas Trantib Kota yang bekerja sama dengan pihak kepolisian dan TNI. Melihat persoalan ini, Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura mulai berinisiatif untuk merangkum, bergabung dan berjuang bersama dengan Mama-Mama Pedagang Asli tersebut. Pada 10 September 2004, Uskup Keuskupan Jayapura Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM menulis surat terbuka kepada Walikota Jayapura MR Kambu yang berisi tentang keprihatinan terhadap nasib para pedagang kecil, terutama Mama-Mama yang berjualan di bekas Pasar Ampera. Perjuangan untuk mendapatkan hak ekonomi bagi mama-mama pedagang asli Papua terus dilakukan. Pada 25 Januari 2007, dalam rapat dengan berbagai LSM yang peduli nasib mama-mama bersepakat membentuk Solidaritas Pedagang Asli Papua (SOLPAP). Sejak terbentuknya SOLPAP terus melakukan kerja-kerja pendampingan mama-mama pedagang asli Papua untuk mendapatkan hak ekonominya. Bertemu untuk lobi ke DPR Kota Jayapura, DPR Papua, Pemkot Jayapura, MRP dan Pemprov Papua terus dilakukan. Walaupun seringkali segala janji tidak ditepati oleh para pengambil kebijakan tersebut. Selain melakukan pertemuan ‘dari meja ke meja’, SOLPAP bersama mama-mama terus turun ke jalan untuk meminta pemenuhan secara bermartabat Hak Ekonominya. Hujan, panas, haus dan menahan lapar untuk mendapatkan sebuah pasar di Kota Jayapura terus dilakukan. Karena janji yang tak terpenuhi akhirnya SOLPAP bersepakat untuk melakukan aksi Rp 1000 untuk membantu mama-mama dalam pembangunan pasar. Aksi ini dilakukan dengan tujuan menagih janji Gubernur Papua Barnabas Suebu membangun sebuah pasar. Usaha ini dilakukan pada 15 dan 17 Maret 2010. Selang satu minggu kemudian, pada 24 Maret 2010, Plt. Sekda Provinsi Papua EL secara terang mengatakan bahwa “anggaran pembangunan pasar telah disiapkan 5 miliar. Lokasinya di bekas Toko Kawat sesuai permintaan Mama-mama”. Perjuangan membuahkan hasil pada 20 Desember 2010, sebuah pasar sementara akhirnya diresmikan di Jln. Percetakan Jayapura.
Dalam kunjungan kampanyenya di tahun 2014, Presiden Joko Widodo sempat berkunjung ke Pasar Sementara Mama-Mama Pedagang Asli Papua. Pada kesempatan itu, Presiden Joko Widodo berjanji akan membangun sebuah pasar permanen. Sepertinya ada angin segar bagi Mama-mama Papua. Janji ini sempat disampaikan oleh Pemda Papua tetapi sampai saat ini tidak terlaksana. Mungkin ini adalah angin segar dan harus dikejar. Setelah mendengar kabar bahwa Joko Widodo secara resmi dilantik menjadi Presiden RI, SOLPAP mulai menyusun strategi untuk menagih janji itu. Mungkin janji ini tidak seperti janji Pemda Papua. Pada 27 Desember 2014, Presiden mengunjungi lagi Tanah Papua. Pada kesempatan itu Presiden Joko Widodo melakukan peletakan batu pertama untuk proses pembangunan Pasar Permanen bagi Mama-Mama Pedagang Asli Papua. Namun hampir setahun berjalan belum ada tanda-tanda pembangunan pasar. Pada Desember 2015, SOLPAP bersama enam Mama-Mama Pedagang Asli Papua ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Satu tujuannya adalah menagih janji pembangunan pasar. Sejak itu sepanjang Januari – Mei 2016, SOLPAP bersama para pencinta Mama-Mama Pedagang Asli Papua terus melakukan somasi dan kampanye untuk menagih janji Presiden tersebut. Melalui Kantor Staf Kepresidenan janji pembangunan pasar itu mulai dilaksanakan. Pengiriman tim untuk melakukan riset dan studi – yang hanya sebentar ketimpang riset yang dilakukan SOLPAP bertahun-tahun – tentang karakter budaya dan cara berjualan serta pasar yang cocok untuk Mama-Mama Pedagang Asli Papua. Pada bulan Mei 2016, SOLPAP dan Mama-Mama Pedagang Asli Papua harus kehilangan seorang pejuang pasar Robert Krock Jitmau.
Di saat SOLPAP dan Mama-Mama Pedagang Asli Papua mempertanyakan kejelasan kematian Robert Krock Jitmau, proses pembangunan Pasar Permanen Mama-Mama Papua dilaksanakan melalui BUMN yang dikerjakan oleh PT PP (Persero) Tbk. Menurut Presiden Joko Widodo, pembangunan pasar ini akan berakhir pada akhir tahun 2017. Dalam kunjungan terakhirnya di tahun 2017, Presiden Joko Widodo berencana meresmikan pasar tersebut. Hal ini tidak terjadi karena SOLPAP dan Mama-Mama Pedagang Asli Papua melakukan protes terhadap kehadiran kelompok yang menyebutkan diri mereka sebagai Pokja Papua. Kelompok ini dinilai oleh SOLPAP seperti seorang ‘pencuri’ karena tidak tahu masuk ke ‘rumah orang’. Badan Pengurus dan Mama-Mama Papua juga tidak tahu persis apa itu Pokja Papua. Kelompok ini selalu mengatasnamakan utusan Presiden untuk melaksanakan pembangunan Pasar Permanen Mama-Mama Papua itu. Di tahun 2017, Mama-Mama Pedagang Asli Papua yang berada di Pasar Sementara Mama-Mama Papua melakukan protes terkait pelatihan yang mereka laksanakan. Pelatihan ini dilaksanakan karena tanpa berkomunikasi dengan SOLPAP yang selama ini mendampingi mama-mama pedagang asli Papua. Selain itu pelatihan yang dilaksanakan itu sempat juga dilaksanakan oleh SOLPAP yang bekerja sama dengan SKP Keuskupan Jayapura (sekarang SKPKC FP) dan HAPIN Papua. Bahkan pada kesempatan itu, hampir saja terjadi perkelahian antara mama-mama Papua. SOLPAP menilai kehadiran kelompok ini memecahbela persatuan di antara Mama-Mama. Terkesan bahwa Mama-Mama Pedagang Asli Papua dijadikan obyek untuk menarik simpati dan kepentingan lainnya.
Cerita Peresmian Pasar
Persoalan yang telah disebutkan di atas, tidak serta-merta dilupakan oleh SOLPAP. Terlepas dari itu, mau tidak mau, suka tidak suka, mungkin desakan dari kelompok ‘Pokja Papua’ ke Pemkot Jayapura, Pasar Mama-Mama Papua akhirnya diresmikan oleh Walikota Jayapura Dr. Benhur Tomy Mano yang bertepatan dengan HUT Kota Jayapura, 7 Maret 2018. Di akhir tahun 2017, sempat terdengar kabar bahwa pasar akan diresmikan pada Desember 2017, namun itu tidak dilaksanakan. Sebelum peresmian pasar itu, SOLPAP dan Mama-Mama Pedagang Asli Papua di Pasar Sementara bertemu dengan Walikota Jayapura untuk menjelaskan kedudukan SOLPAP, meminta uji kelayakan pasar karena secara fisik pasar belum lengkap. Selain itu SOLPAP ingin menyampaikan beberapa hal yang telah disepakati pada Musyawarah Besar SOLPAP pada Mei 2017. Ruang untuk duduk bersama secara resmi sampai saat ini belum terwujud. Di satu sisi, SOLPAP memang tidak memiliki kapasitas yang lebih untuk mengelolah pasar. Di dalam MUBES SOLPAP itu disepakati bersedia bekerja sama dengan Pemkot Jayapura dalam mengelolah pasar. Di sisi lain, Pemkot Jayapura tidak melihat SOLPAP sebagai wadah perjuangan untuk mendapatkan pasar tersebut. Pertanyaannya, seandainya SOLPAP tidak ada, apakah pasar itu bisa dibangun? Mengapa Kelompok yang menyebutkan dirinya Pokja Papua ini baru muncul? Dalam hal ini Pemkot Jayapura lebih banyak mendengarkan suara dan kemauan dari ‘luar’ ketimbang orang atau kelompok yang selama ini berjuang dengan Mama-Mama Pedagang Asli Papua.
Pada 6 Maret 2018, SOLPAP diminta bantuan oleh Pemkot Jayapura untuk bersama dengan mama-mama melakukan penarikan nomor undian tempat jualan di pasar baru. Hanya itu saja. Menurut Koordinator Frengki Warer, keputusan untuk mengiyakan peresmian pasar itu adalah keputusan yang sulit karena masih ada banyak persoalan yang belum diselesaikan. Koordinator SOLPAP akhirnya meminta Mama-Mama Pedagang Asli di Pasar Sementara untuk menyukseskan acara peresmian pasar tersebut.
Pada saat upacara peresmian pasar, penandatangan MoU dan lain sebagainya SOLPAP dan Mama-Mama Pedagang Asli Papua yang memiliki ‘rumah (pasar)’ itu tidak dilibatkan. Kita bisa lihat bersama Mama-Mama Pedagang Asli Papua yang memiliki hajatan tersebut dipinggirkan. Di dalam susunan acara peresmian tersebut, SOLPAP dan Perwakilan Mama-Mama Pedagang Asli Papua tidak diberikan kesempatan untuk berpidato secara resmi seperti Walikota Jayapura. Bukan hanya itu saja, penekanan tombol sirene terbukanya tirai papan nama tak ada perwakilan Mama-Mama Pedagang Asli Papua dan SOLPAP. Selain itu penguntingan pita untuk memasuki ‘Rumah (Pasar)” bukan yang punya rumah tetapi orang luar. Walikota Jayapura bukan didampingi oleh seorang Mama-Mama Pedagang Asli Papua dalam pengguntingan pita tetapi orang lain. Kalau kita merujuk pada kebiasaan atau adat istiadat, orang yang memiliki hajatan itu biasanya sibuk. Mulai dari penjemputan sampai pada kesempatan untuk berbicara. Menurut saya, kalau diberikan kepercayaan kepada Mama-Mama Pedagang Asli Papua pasti mereka bisa laksanakan acara peresmian tersebut dengan cara mereka. Karena jelas bahwa acara itu adalah acara Peresmian Pasar Mama-Mama Papua yang hanya bertepatan dengan HUT Kota Jayapura. Mereka adalah Mama-Mama yang melahirkan kita, mereka jugalah yang tahu dan lebih dulu merasakan adat dan tradisi. Dengan demikian mereka pasti sangat bisa menyukseskan acara peresmian tersebut. Pasti mereka lakukan yang terbaik di rumahnya untuk menghormati para tamu. Dan mereka juga tidak akan mempermalukan dirinya di hadapan para tamu.