Sebuah Refleksi
Pagi ini, Jumat, 10 November 2017, saya menulis karena mendengar cerita dari seorang ibu guru tentang banjir dan air masuk dalam rumah kemarin, Kamis, 9 November 2017. Kemarin dia tra masuk sekolah. Dia membersihkan lumpur di dalam rumahnya.
Ibu itu menceritakan: “Dalam rumah berantakan. Padahal sebelumnya hujan besar pun tra pernah air masuk dalam rumah seperti kemarin. Pemilik tanah ini sudah jual gunung, bukit, batu, kayu, semuanya. Rumah kami jadi begini karena gunung di gusur, hujan sedikit tapi kirim tanah dan air dari gunung. Parit yang ada tertimbun tanah, air berhamburan dimana mana. Kenapa hidup kami terganggu seperti begini? Apa salah kami pada alam? Apakah ini adalah sebuah perubahan? Apakah demi perubahan tanah harus dijual? Terus… kalau semuanya dijual habis, sebaiknya alat produksi mereka juga dipotong supaya trada (tidak ada) generasi selanjutnya, supaya dosa orang tua tra (tidak) boleh ditanggung anaknya, supaya anak tidak menjadi seperti pengemis yang hidup di bawah kolong jembatan di Jawa sana”.
Dari cerita Ibu di atas membuat saya harus tulis lagi beberapa hal yang menurut saya baik untuk tong (kita) ketahui, tapi baik kalau kawan-kawan lagi tambahkan. Soal benar dan salahnya akan tong (kita) bicarakan bersama.
Setelah alam su (sudah) tra (tidak) bersahabat dengan kita, saya coba mulai dengan apa kata mereka (non Papua) pada kita. Siapa mereka? Ya kata penjual sayur, petani trans, penjual pakaian, pemiliki hotel, mall, program dana desa, raskin, dan program pangan nasional.
- Penjual sayur dong (mereka) bilang begini, “saya harus antar sayur buat bos-bos yang baru bangun tidur, mereka ngorok, supaya mereka tra repot dan harus dibikin manja. Kan mereka tuan, tuan tanah, tuan rumah, dan itu dijamin dalam undang undang otonomi khusus”.
- Kata Petani Trans (transmigrasi), “Tahun 70-an, 80-an, dan 90-an. Tanah kami sudah ambil, kami tanam, hasilnya kami biaya anak sekolah menjadi tentara, polisi, dll, lalu bangun rumah besar di daerah asal kami. Sekarang saya bertani lagi, supaya Mama-mama Papua yang jualan di pasar beli pada kami, sekarang tugas kami cukup bertani, yang jual hasil kebun adalah mereka (Mama-mama Papua). Nanti kalau saya rasa cukup dan usia mulai senja, saya jual lagi kebun dan rumah pada orang Papua kalau tidak pada sesama kami. Kan orang Papua dong su (sudah) tra (tidak) pu (punya) tanah lagi, kan mereka makan dari Otsus, Raskin dan dana desa”.
- Kata penjual pakaian, “sekarang itu masa modern. Tertinggal bagi dong (mereka) yang tra (tidak) pu (punya) pakaian. Tong (kita) su (sudah) bikin pakaian, penjual pun ada pada kami. Kami tinggal distribusi pada kalian. Tra (tidak) usah repot-repot bikin atau nyulam baju dari woll, benang, atau dari kulit kayu. Kalian tinggal bawa uang saja. Sudah pergi cari uang, supaya ko (kau) tra (tidak) jalan telanjang, kan tra (tidak) baik kalo (kalau) dilihat orang”.
- Kata pemilik mall, hotel, ruko, dll, “tong (kita) su beli tanah. Sekarang saatnya berinvestasi, kami beli tidak sekedar beli, mau kami agar dapat lebih dari harga yang pernah kami beli. Makanya kami bangun hotel, mall, ruko dan toko. Banyak pejabat Papua datang ke tempat kami, tempat kami nyaman kok, bisa selingkuh, bisa pertemuan, bisa sidang, bisa apa saja. Yang penting ko (kau) bawah uang. Urusan keluarga di rumah tidak saya pedulikan. Di tempat kami bisa lakukan apa saja, lakukan yang baik maupun yang tidak baik. Dan jual apa saja, kualitasnya juga terjamin. Kan ko tertinggal kalo (kalau) belanja di pasar tradisional. Kan malu too…. Hehehe”.
- Program dana desa, “sekarang orang Papua enak. Uang sudah datang di kampung-kampung melalui dana desa. Mereka selalu bersenang-senang, ke kota beli barang makanan, pakaian, minuman, sampe bawa istri baru. Dong sendiri baku marah gara-gara (karena) pembagian uang, karena uangnya dibawah kepala kampung, laporan keuangan tra (tidak) jelas dan kadang juga ada pemotongan dari pihak yang lebih dari dorang (mereka). Sekarang mereka tra (tidak) bisa berusaha lagi untuk dapat uang, untuk biayai anaknya sekolah, untuk makan minum semuanya pake (gunakan) uang. Trada (tidak ada) dari hasil kerjanya”.
- Beras miskin (Raskin), “kita bikin program ini karena di Papua trada (tidak ada) sawah. Orang Indonesia wajib makan nasi, kuno kalau rakyat Indonesia tra (tidak) makan nasi. Jadi, orang Papua tra (tidak) usah berkebun, kasihan. Negara sudah sediakan buat kalian. Nanti kalau kamu su (sudah) tra (tidak) tahu kerja, tra (tidak) tahu berkebun dan kami hentikan program Raskin, supaya kamu tra (tidak) makan dan tra (tidak) bisa kerja lagi dan akhirnya kamu mati dan tanah kalian kami kuasai, kami ambil dan beranak cucu di atas tanah kamu”
Oleh: Agustinus Kadepa, Aktivis Gerakan Papua Mengajar (GPM) di Jayapura
Disadur dari: https://ikbdklpw3wenecom.wordpress.com/2017/11/10/kata-mereka-untuk-orang-papua/