“Saya sudah menyerah tetapi mereka (polisi) tetap tembak saya. Mereka tembak kedua kaki saya. Selama saya di Rumah Sakit Bayangkara, saya tidak dirawat dengan baik. Anggota keluarga yang datang untuk kunjung saya dilarang juga”
Begitulah ungkapan yang disampaikan salah satu korban penembakan yang ceritanya dimasukan juga ditulis di dalam Buku “Papua: ‘Surga’ Yang Terlantar: Laporan HAM SKP Se-Papua 2015-2017”.
Papua, selain tanah yang kaya (‘Surga’) akan sumber daya alamnya, Papua juga menjadi ‘Surga’ tumbuhnya segala kekerasan dan pelanggaran HAM (Sipol dan Ekosob serta Lingkungan Hidup). Semuanya ini masih belum diselesaikan dengan secara baik, benar dan adil oleh Negara Indonesia. Negara dengan segala kepentingannya entah itu melalui elit birokrasi maupun aparat keamanan, terus mengganggu Tanah dan Manusia Papua. Kasus penembakan di Intan Jaya dan Tolikara pada waktu bersamaan (17 Juli 2015), penembakan di Koperapoka Mimika (28 Agustus 2015), penembakan di Kabupaten Jayapura (11 Januari 2017), penyiksaan saat sweeping di Kabupaten Dogiyai (10 Januari 2017), penembakan Michael Merani di Kepulauan Yapen (27 Maret 2017), penembakan di Kampung Oneibo (1 Agustus 2017) dan masih banyak lagi kekerasan fisik dan penembakan lainnya yang dialami oleh Orang Asli Papua.
Kekerasan yang dialami Orang Asli Papua juga ketika mereka berjuang untuk mempertahankan hak ulayatnya. Sebut saja kasus dialami oleh Sekretaris Dewan Adat Suku Yerisiam Gua Nabire pada 29 Juni 2017, Yan Ever di Kabupaten Sorong pada 23 Oktober 2017. Masyarakat pemilik hak ulayat harus berurusan dengan aparat keamanan yang mengamankan bisnis elit birokrasi dengan pihak perusahaan di Tanah Papua. Masyarakat pemilik hak ulayat sepertinya sudah ‘ditakdirkan’ untuk menerima dan siap menerima kesakitannya.
Persoalan layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan hampir tidak berjalan di pedalaman Papua. Masyarakat harus berjuang untuk melawan segala ketidaktahuannya dengan segala jenis penyakit yang menyerang mereka. Kasus meninggalnya manusia Papua usia Balita di Kabupaten Lany Jaya, Dogiyai, Yahukimo (Saminage dan Korowai) menjadi potret buruk pemenuhan hak dasar kemanusian bagi orang asli Papua.
Dengan segala persoalan tersebut, berbagai elemen berusaha untuk perlahan menyelesaikannya. Negara juga bertanggung jawab penuh untuk menyelesaikannya. Negara mulai menguatkan pembangunan infrastruktur dengan program andalan Presiden Joko Widodo, Nawa Cita. Sejalan dengan itu, perhatian dunia internasional terhadap segala persoalan kemanusian atau HAM di Tanah Papua terus meningkat. Dunia internasional terus memberikan tekanan kepada Negara Indonesia.
Terlepas dari segala persoalan dan perhatian Negara, Gereja Katolik di Tanah Papua melalui Sekretariat Keadilan dan Perdamaiannya berusaha menyuarakan penderitaan dan kesakitan orang asli Papua tersebut. Kesekretariatan ini tersebar di lima keuskupan di Tanah Papua yakni SKP Keuskupan Agung Merauke, SKPKC Fransiskan Papua, SKP Keuskupan Timika, SKP Keuskupan Agats, SKP Keuskupan Manokwari Sorong dan SKPC OSA. Mereka berusaha menyuarakan dan menyelesaikan persoalan tersebut dengan gaya dan situasi yang dihadapi oleh orang yang dilayani.
Buku “Papua: Surga Yang Terlantar, Laporan HAM SKP se-Papua tahun 2015-2017” yang ditulis oleh Tim SKP Se-Papua dan diterbitkan oleh SKPKC Fransiskan Papua ini merupakan salah satu upaya dari SKP yang berada di Tanah Papua. SKP di Tanah Papua berusaha mendokumentasikan segala persoalan yang terjadi pada tiga tahun (2015-2017). Dokumentasi ini bukan untuk menangisi segala kesakitan tersebut tetapi mengingatkan kita untuk terus berjuang dan berusaha demi tegaknya harkat dan martabat orang asli Papua. Buku ini membantu meneruskan suara mereka (orang asli Papua) yang semakin hari dibungkam. Buku ini juga mengingatkan kepada Negara Indonesia bahwa pelanggaran HAM itu belum diselesaikan dan masih terus terjadi hingga saat ini. Kiranya Buku ini menjadi salah satu refrensi bagi kita untuk mengetahui persoalan HAM di Tanah Papua.
Dalam kata pengantarnya Mgr. H. Datus Lega, Pr menjelaskan bahwa buku ini merupakan salah satu buku yang ditulis dari kacamata Papua.
“Buku ini untuk memahami Papua dari kacamata Papua dengan karakteristik ke-Papuan-nya. Tanpa kacamata Papua, sulit menerobos jantung hati Papua”
Group Musik Legendaris Papua “Mambesak” menceritakan Papua sebagai Surga Yang Terlantar dalam lagu “Nyanyian Sunyi”. Buku ini berusaha menyanyikan kembali lagu Nyanyian Sunyi tersebut. Papua sebagai surga yang terlantar tetapi terus tersenyum walaupun menyayat hati.
Pada Rabu, 14 November 2018, di Aula STFT Fajar Timur, Buku Papua: ‘Surga’ Yang Terlantar ini didiskusikan dan dilaunching.