Sebuah refleksi
Pengantar
“When I give food to the poor, they call me a saint. When I ask why they are poor, they call me a communist.” (Ketika saya memberikan makanan kepada orang miskin, mereka menyebut saya seorang santo (orang suci). Ketika saya bertanya mengapa mereka miskin, mereka menyebut saya seorang komunis). Inilah ungkapan terkenal dari Herder Camara, seorang uskup Agung Gereja Katolik, Keuskupan Olinda dan Recife dari tahun 1964 sampai 1985 di Brasil.
Herder Camara lahir pada 7 Februari 1909 dan meninggal 27 Augustus 1999. Ia terkenal dengan keteguhannya memperjuangkan hak asasi manusia secara khusus orang-orang miskin pada masa rezim militer di Brasil. Dia mendorong gereja untuk dekat dengan orang-orang yang terabaikan dan tanpa kekerasan.
Camara menghadiri semua sesi Konsili Vatikan II dan memiliki peran penting dalam merancang dokumen Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini. Dokumen ini menegaskan: “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga” (GS 1).
Misi Gereja dan Kaum Miskin
Misi Gereja dimana pun sama karena bersumber dari Yesus Kristus sendiri. Injil Lukas 4: 18-19 menegaskan: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.”
Misi ini memiliki dimensi moral politik. Gereja berkewajiban untuk menilai “politik” dari dimensi moral yang bersumber dari iman. Kita menyadari bahwa politik diwarnai oleh berbagai kepentingan yang sering kali mengabaikan harkat dan martabat manusia.
Sambutan Presiden GIDI, Pendeta Dorman Wandikbo, dalam pembukaan Konfrensi XIX GIDI “Jangan halangi gereja untuk jalankan visi Tuhan” mengundang refleksi dan permenungan. Ia menulis: “…. mengapa kegiatan hidup atau kehidupan umat Tuhan di tanah ini terus diadili? Karena gereja-gereja Tuhan seperti Gereja KINGMI di Tanah Papua, Gereja Baptis di Tanah Papua dan Gereja GIDI terus diadili. Tiga gereja dianggap separatis, padahal kami memihak kepada orang yang lemah.” (Koran Jubi, Jumat-Sabtu, 30 November – 1 Desember 2018, hal. 34).
Lebih lanjut ia menegaskan: “…. gereja kita tidak mengajarkan teologi negara tetapi gereja GIDI mengajarkan teologi agung. Gereja ini ada untuk membebaskan umat, ada untuk mereka yang sakit, ada untuk mereka yang hilang harapan, ada untuk memberikan sukacita, damai sejahtera supaya mereka penuh harapan untuk masa depan. Gereja memiliki kebenaran yang mutlak dan hakiki. Gereja sebenarnya ada untuk mereka yang lemah dan tertindas.” (idem)
Kecemasan Pendeta Dorman, penting untuk direnungkan ketika Gereja-Gereja mudah dianggap separatis ketika memihak kepada yang lemah atau memperjuangkan hak asasi manusia.
Situasi alam dan manusia Papua saat ini membutuhkan kehadiran Gereja (Katolik dan Protestan). Kehadiran sesama yang lainnya di luar Gereja juga diharapkan memberikan dampak yang positif bagi alam dan manusia Papua. Pelayanan akan kemanusiaan dan perjuangan akan nilai-nilai hak asasi manusia di Tanah Papua harus dikerjakan oleh semua orang. Solidaritas tanpa batas (agama, suku dan ras) akan membantu alam dan manusia Papua bebas dari pelbagai ekspolitasi. Kerusakan alam dan hutan Papua (Sorong sampai Merauke) karena kehadiran perusahaan kelapa sawit, tambang, dan lain sebagainya sepatutnya mengundang kita semua untuk melawan. Eksploitasi alam dan hutan atau kekayaan alam Papua beriringan dengan kehancuran budaya dan manusia Papua. Selain itu derasnya arus militerisme di Tanah Papua semakin memperburuk penegakan hak asasi manusia. Orang asli Papua harus kehilangan keluarganya, alam dan segala kekayaannya karena Negara Indonesia menghadapkannya dengan kekuatan militer. Kekuatan yang sebenarnya menjaga dan melindungi masyarakat.
Kelompok kaum miskin di Papua untuk saat ini adalah bukan saja mereka yang tidak memiliki harta (uang), tetapi miskin karena harkat dan martabatnya sebagai tuan rumah atau tuan tanah dirampas dan ditiadakan. Sepatutnya orang Papua tidaklah miskin karena mereka mempunyai kekayaan alam yang berlimpah ruah. Sebut saja gunung emas di Mimika dan Pegunungan Tengah lainnya, minyak dan gas alam di Sorong dan Bintuni, kayu-kayu log nomor satu dunia, nikel di Kabupaten Jayapura, potensi wisata alam (darat dan laut) yang sangat luar biasa dan masih banyak lainnya. Semuanya itu tidak menjadikan orang asli Papua sebagai pemiliknya. Orang asli Papua dipaksakan menjadi ‘tamu’ terhadap kekayaan alamnya. Ketika mereka berusaha melawan segala praktek kapitalis, mereka menjadi kaum tertindas dan disingkirkan. Mereka menjadi kaum miskin di atas kekayaan alamnya. Kekuatan para investor yang bekerja sama dengan para borjuis birokrasi negara menghadapkan mereka dengan kekuatan alat negara yakni militer. Jelas bahwa nyawa orang asli Papua menjadi tidak berharga. Segala usaha untuk menuntut ketidakadilan, kebebasan dan menjaga hak ulayatnya dicap sebagai separatis. Alhasil, mereka ditangkap, disiksa, dipenjarakan dan dibunuh.
Dalam konteks itulah Gereja haruslah hadir dan membela yang terpinggirkan dan memperjuangkan hak asasi mereka. Gereja tidak sedang membenci siapa pun ketika berjuang bersama yang miskin tersebut. Justru Gereja mengajak kita semua untuk memperhatikan yang miskin, menderita, dan terabaikan di Tanah Papua.
Semoga Damai Sejahtera yang kita nantikan dalam perayaan Natal memenuhi hati kita semua.