Oleh Ence Geong
Anak Selena
Selena, bayi 7 bulan akhirnya tiba di Wamena, 12 Januari 2019. Perjalanan panjang dimulai pada 10 Desember 2018 ketika harapan untuk bertahan di hutan dekat Distrik Mugi semakin menipis. Beberapa hari di hutan tanpa kepastian akan tiba harinya kembali ke kampung, kedua orangtuanya memutuskan memilih jalan panjang dengan secercah harapan di ujungnya. Daripada menunggu dalam ketidakpastian, lebih baik bergerak menuju harapan.
Demikianlah perjalanan panjang dari Distrik Mugi dimulai. Bersama Selena dan kakaknya (10 tahun), kedua orangtuanya Selena berjalan menuju ke arah Lani Jaya. Tujuan utama perjalanan ini adalah menuju Wamena. Namun jalan singkat menuju Wamena adalah jalan penuh ancaman. Mereka harus melalui wilayah Yigi, Dal hingga Mbua yang sedang ada operasi militer. Melalui Lani Jaya adalah pilihan yang sulit namun dengan ancaman yang masih bisa diantisipasi yaitu hanya ancaman alam yang ekstrim.
Setelah sebulan lebih, keempatnya akhirnya tiba di pinggiran kota Wamena. Lalu tanggal 15 keempatnya bergerak lagi ke kota Wamena dan tinggal bersama beberapa pengungsi lainnya di rumah warga asal Nduga di Wamena. Tiba di Wamena, Selena pun mendapatkan susu formula.
Dalam perjalanan, Selena kekurangan asupan makanan karena sang ibu sendiri jarang sekali makan. Sulitnya mendapatkan makanan dalam perjalanan pengungsian itu memaksa mereka harus berhemat. Bekal harus dipergunakan sehemat mungkin. Selebihnya sumber kekuatan berasal dari dedaunan yang ditemukan dalam perjalanan. Paling banyak adalah sayur paku.
Selena dan keluarganya bukanlah cerita tunggal pengungsian. Ada banyak keluarga lain yang serupa. Alam dipaksa untuk jadi sahabat dan perut dibiasakan untuk bertahan tanpa isi. Entah semua keluarga bisa selamat seperti Selena dan keluarganya, kita tak bisa pastikan. Masih banyak yang belum tiba di tempat tujuan. Semuanya berharap alam tetap mampu diakrabi dan menyediakan makanan bagi masyarakat.
Para pengungsi tak bisa berharap banyak pada negara. Pemerintah daerah Nduga tak mampu menjangkau semua wilayah hutan untuk membawa makanan dan pertolongan. Sementara masyarakat sipil di Wamena yang ingin bergerak membawa bantuan tak mampu berbuat banyak. Biaya mobil sebesar Rp 60 juta untuk pergi dan pulang cukup sulit dipenuhi.
Ah, ribuan orang yang sudah mengungsi itu seperti tak ada makna apa-apa. Bahkan untuk sekadar disebutkan dalam perdebatan presiden itu pun enggan. Kemanusiaan hanya jadi milik segelintir orang sementara sebagian besar orang hanyalah angka.
Entah butuh berapa nyawa warga sipil Nduga lagi agar dendam kita akan pembunuhan belasan karyawan PT Istaka karya itu dipuaskan. Kita semua tahu kalau warga sipil Nduga tak bersalah, namun kita tidak bisa menerima bahwa karyawan PT Istaka Karya dibunuh di alam tanah Nduga sehingga kita tak peduli dengan rakyat Nduga. Kebanyakan dari kita tidak menyalahkan rakyat Nduga atas kejadian PT Istaka Karya, namun rakyat Nduga salah karena mereka berada di daerah kejadian makanya kita tidak peduli. Atau juga karena mereka adalah orang Papua karena itu biasa saja kalau orang Papua mati dan dibunuh asal jangan orang non Papua.
Mari kita ingat betapa hebohnya kita saat Musholla di Tolikara terbakar bersama ruko-ruko non Papua. Beberapa menteri datang dalam hitungan jam. Puluhan jurnalis Nasional tiba begitu cepat di Tolikara. Masyarakat di berbagai wilayah ramai-ramai mengutuk para pelakunya. Saat bersamaan, satu anak ditembak mati dan beberapa lainnya luka-luka, siapa yang peduli?
Saat informasi awal Karyawan PT Istaka Karya dibunuh, kita pun heboh. Meski tak tahu bagaimana kejadiannya, kita ramai-ramai memaki dan mengutuk. Entah berapa orang yang pasti dibunuh pun kita tak peduli. Kita tetap menggunakan angka yang sampai sekarang tak jelas bagaimana menghitungnya. Sesaat setelahnya korban warga sipil Nduga berjatuhan, nyawa melayang, ada yang luka-luka, rumah-rumah dibakar, hewan peliharaan ditembak mati, rakyat mengungsi. Kita diam.
Mama Arem
Pagi ini (Minggu, 20 Januari 2019), pesan WhatsApp membuat saya tak bisa berbuat apa-apa. Sulit untuk beranjak dari tempat tidur. Bukan karena capek tapi karena merasa Tuhan yang hari ini mengubah Air Jadi Anggur telah mengambil pulang mama Arem Kogeya.
Mama Arem adalah salah satu pengungsi Nduga yang sudah tiba di Wamena. Aslinya dia berasal dari distrik Mugi namun lama tinggal di distrik Mapenduma. Perjalanan jauh di alam yang ekstrim membuat tubuhnya goyah. Dalam usia 55 tahun, Mama Arem harus mengungsi. Tiba di Wamena dengan tubuh yang tak lagi sehat. Jauh dari kampung halaman dan menginap di rumah keluarga di Wamena, mama Arem akhirnya pergi.
Keluarga di Wamena telah berupaya mengobati mama Arem. Meski disambut dengan baik oleh keluarga di Wamena dan diobati, Tuhan memilih untuk memanggilnya pulang. Mama Arem meninggal pada Sabtu, 19 Januari 2019. Tiga orang anak dan seorang suami harus kehilangan satu sumber semangat hidupnya. Pelarian dari ancaman maut malah disambut oleh maut yang sama dengan cara berbeda.
Daftar korban sipil yang meninggal karena harus mengungsi pun bertambah. Belasan orang warga sipil pemilik tanah Papua sudah pergi. Ini barulah jumlah yang kita bisa ketahui. Entah berapa banyak korban lainnya di wilayah yang belum bisa diakses atau aksesnya ditutup.
Andai saja Yesus yang hari ini menambahkan kebahagiaan bagi mereka-mereka yang sedang bahagia hadir di tengah orang Nduga, Yesus akan turut bersolidaritas. Yesus yang diikuti jutaan manusia di dunia ini tidak akan hanya ikut bersedih dan menangis, tetapi akan ikut memberontak melawan penindasan terhadap rakyat kecil.
Sayangnya masih banyak pengikut Yesus yang sedang mabuk anggur kebahagiaan yang diberikan negara ini yang diambil dari darah orang Papua. Beristirahatlah dalam Surga abadi Mama Arem. Maafkanlah kami yang sedang mabuk kebahagiaan dan melupakan kalian semua yang menderita.