Tanah Papua ini tanah adat tidak bisa kita melangkahi adat kita harus menghormati adat. Tanah yang sedang disengketakan di Nabire yakni tanah bekas Pasar Buton dekat BRI Nabire adalah Tanah adat Suku Wate yang diserahkan kepada keluarga Waum. Pada tahun 1977-1978 Bpk. Soenarto mencaplok tanah itu dari Bpk. Waum dan membuat sertifikat tanpa prosedur yang tidak benar. Patut diduga beberapa tanahnya juga dicaplok dengan cara yang tidak benar.
“Prosedur pembuatan sertifikat tanah itu tidak benar memang. Kami curiga ada tanah yang dicaplok dengan cara yang tidak benar”, ungkap anggota DPR Papua Jhon Gobay yang juga turut membantu masyarakat Suku Wate di Nabire.
Lanjut Jhon, kalau merujuk pada undang-undang yang berlaku maka proses itu tidak benar. Pada pasal 6 ayat (2) Perkaban No. 3 Tahun 2011 menegaskan bahwa cacat hukum administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain, kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan/atau pendaftaran hak tanah, kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran peralihan hak dan/atau sertipikat pengganti, kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran penegasan dan/atau pengakuan hak atas tanah bekas milik adat, kesalahan prosedur dalam proses pengukuran, pemetaan dan/atau perhitungan luas, tumpang tindih hak atau sertipikat hak atas tanah, kesalahan subyek dan/atau obyek hak dan kesalahan lain dalam penerapan peraturan perundang-undangan. Dan juga pada Pasal 64 Perkaban No. 3 Tahun 2011 mengatur pula bahwa permohonan/usulan perbuatan hukum administrasi pertanahan terhadap sertipikat hak atas tanah yang cacat hukum administrasi dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan/pemohon atau kuasanya.
Tanah yang menjadi Obyek sengketa antara Mama Waum dan Ibu Liong adalah cacat hokum karena sertifikat yang dipegang oleh Bpk. Andreas Soenarto adalah cacat administrasi karna sertifikat tersebut bukan ditandatangani oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) tetapi oleh Kepala Seksi. Yang kedua, sesuai UU No 21 Tahun 2001 dan Perdasus No 23 Tahun 2008, pelepasan yang dimiliki Ibu Lion adalah berasal Badan Musyawarah Adat Nabire adalah keliru karna tanah adat ini bukan dimiliki oleh Badan Musyawarah Adat Nabire tetapi Suku Wate yang wadahnya adalah Badan Musyawarah Adat (BMA)Suku Wate.
Masyarakat dalam surat melalui BMA Suku Wate mengharapkan agar pihak Pengadilan Negeri Nabire untuk tidak mengeksekusi tanah tersebut. Mereka mengharapkan agar BPN Nabire mengklarifikasinya kembali.
“Perlu kami sampaikan penerbitan sertifikat pertama adalah cacat administrasi sehingga BPN Papua dan BPN Nabire harus dapat mengklrafikasi dan membatalkan sesuai dengan PERKEP BPN. Yang kedua PN Nabire harus membatalkan keputusannya dan harus mengkaji kembali Sertifikat Bpk. Soenarto,” jelas Ketua Dewan Adat Suku Wate Daniel Mandiwa.