Kebudayaan Balim

Suatu Refleksi

Oleh: Pater Frans Lieshout, OFM

Pendahuluan

Tulisan mengenai kebudayaan Balim ini merupakan suatu refleksi pribadi berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya selama hidup dan bergaul dengan masyarakat Balim. Saya bukan seorang antropolog melainkan seorang Pastor katolik yang percaya, bahwa Tuhan mengasihi dan mau menyelamatkan semua suku dan bangsa termasuk suku Hubula  di Balim. Waktu Uskup Manfred Staverman, OFM menugaskan saya di Lembah Balim pada tahun 1964, beliau menasihati saya supaya terjun di masyarakat dan beliau bahkan mewajibkan saya untuk mempelajari bahasa dan budaya mereka, tidak sebagai suatu pilihan bebas melainkan sebagai bagian dari tugas pokok pastoral.

Seorang pastor hanya dapat mewartakan Injil kalau ia sekaligus mendengarkan, mengenal, dan menghargai masyarakat atau umatnya. Uskup Herman Munninghoff, OFM kemudian mengatakan kepada tim Pastoral Balim pada bulan Mei 1994 bahwa  “Studi kebudayaan merupakan suatu kewajiban terhadap Tuhan dan Sabda-Nya yang kita wartakan dan terhadap umat yang sudah mengenal Tuhan sebelum kita datang”. Juga Uskup Leo Laba Ladjar, OFM pernah minta saya untuk di masa pensiun mempelajari lebih lanjut budaya dan bahasa Balim untuk membantu Tim Pastoral Balim, khususnya dalam hal inkulturasi. Semua nasehat dari para pimpinan Keuskupan tersebut menandakan bahwa pengetahuan tentang budaya dan bahasa lokal amat penting bagi karya pewartaan Injil. Dalam hal ini pula saya teringat akan Yesus sendiri, yang hidup selama tigapuluh tahun di Nasaret bersama dengan keluarga dan masyarakat-Nya untuk menjadi seorang Yahudi yang mengenal sejarah, kebudayaan, dan pergumulan hidup bangsa-Nya sebelum Ia mulai mewartakan Injil.

Saya berterimakasih atas kesempatan untuk dapat sedikit mengenal orang Balim dan kebudayaan mereka. Sejak awal saya mengagumi kekayaan kebudayaan mereka. Saya telah belajar dan menerima banyak inspirasi dari hidup mereka itu. Sekarang ini kebudayaan asli itu sudah mengalami banyak perubahan. Ada unsur-unsur yang sudah mulai menghilang, namun melalui refleksi pribadi ini saya mau sekaligus mengingatkan generasi muda akan kekayaan kebudayaan asli mereka agar  lebih menghargainya dan berusaha untuk menemukan mutiara-mutiaranya di honai mereka. Selain itu sebagai Gereja kita dipanggil untuk mendampingi dan membina mereka di tengah berbagai perubahan untuk dapat menemukan suatu tatanan hidup yang baru dan baik dengan mengintegrasikan Injil ke dalam budaya asli Balim.

Pada tanggal 11 Desember 2014 telah meninggal dunia Bpk/Sdr kita Yulianus Hisage, ketua Dewan Adat Hubula. Gereja Katolik dan masyarakat Balim sudah kehilangan seorang tokoh dan pemerhati kebudayaan serta kesenian asli Balim. Dengan caranya sendiri ia telah mewartakan Injil Yesus Kristus di tengah masyarakat dan kebudayaan Balim demi pemulihan tata kehidupan mereka.

Dengan hormat saya mengenang anak dan sahabat saya ini. RIP.

 

Pendekatan

Tanpa Apriori Buruk

Banyak orang cenderung untuk melihat kebudayaan bangsa atau suku lain melalui kacamata berwarna bahkan berwarna hitam. Hal ini terjadi sebagai akibat dari pendidikan, kebudayaan, dan juga kebiasaan Gereja di daerah asal mereka. Melepaskan kacamata itu rupanya agak sulit. Ada orang yang sebelum mengenal kebudayaan lain apalagi kebudayaan suku di Papua, sudah mempunyai suatu penilaian negatif terhadap kebudayaan itu. Untuk dapat menghadapi suatu masyarakat dan kebudayaan lain secara obyektif, kita harus melepaskan semua apriori yang ada pada diri kita. Hal tersebut pernah diungkapkan oleh pastor Alo Murwito, OFM (sekarang Uskup keuskupan Asmat) kurang lebih sebagai berikut: “Waktu saya mulai tinggal dengan orang-orang Papua, saya merasakan hal itu sebagai berat dan tidak enak. Saya memandang dan menilai mereka dari sudut pandang orang Jawa. Pada suatu ketika saya menyadari bahwa sayalah yang harus berubah dan menanggalkan arogansi kultural saya.Setelah saya mencoba berbuat itu, hidup bersama dengan mereka menjadi enak dan saya belajar banyak dari mereka”.

Iblis dan Berhala

Gereja-Gereja Kristen tertentu dan juga sejumlah pejabat Pemerintah (dan masih ada beberapa pastor juga) menilai kebudayaan, kepercayaan, dan adat-istiadat suku dan bangsa sebelum Injil masuk, sebagai karya Iblis yang harus dimusnahkan. Termasuk di dalamnya adalah kebudayaan suku-suku Papua di Pegunungan Tengah yang dinilai oleh mereka sebagai berhala. Di dunia barat misalnya, dengan mudah suatu masyarakat dinilai sebagai berhala bilamana mereka memiliki benda-benda tertentu seperti batu-batu yang mereka simpan sebagai benda-benda yang berharga atau keramat. Kalau itu benar, maka bangsa Yahudi di zaman sebelum kedatangan Injil harus dinilai juga sebagai bangsa kafir dan berhala. Tetapi Yesus tidak menilai mereka seperti itu dan malahan Ia mengatakan: “Janganlah kamu menyangka bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya” (Mat, 5:17). Yesus datang untuk  menyempurnakannya melalui suatu proses ‘pertobatan’.

Pandangan yang serba hitam dan negatif tersebut pada hemat saya merupakan suatu arogansi kultural dan arogansi agama, yang tidak mengakui dan menghargai kehadiran serta karya Tuhan dalam semua suku dan bangsa sejak awal mula. Semua suku dan bangsa sebelum mereka mengenal Yesus dan Injil-Nya sudah dipengaruhi tidak hanya oleh Iblis tetapi juga oleh kehadiran serta bimbingan Tuhan di tengah-tengah mereka.

Bangsa Allah

Bangsa Yahudi menyebutkan diri sebagai Bangsa Allah. Mereka memberikan kesaksian bahwa Allah sepanjang sejarah sudah hadir dan berjalan bersama dengan mereka dan bahwa Ia telah membimbing serta menghantar mereka menuju kepada kedatangan Al Masih, Yesus Kristus, dan Injil-Nya. Dalam sejarah yang penuh dengan pemberontakan terhadap Allah dan dengan pertobatan kembali kepada-Nya itu, kebudayaan mereka dibentuk dan berkembang dalam bimbingan Allah. Suatu keuntungan adalah bahwa mereka telah mencatat dan menyimpan seluruh pengalaman dan pergumulan sepanjang sejarah mereka itu dalam yang kita kenal sebagai Perjanjian Lama. Maka semua bangsa dan agama di dunia, terutama agama Yahudi, Kristen, dan Islam membaca dan menimba inspirasi serta petunjuk-petunjuk dari padanya yang sangat berharga bagi mereka semua. Yang sangat unik adalah bahwa Yesus Mesias telah datang dan lahir dari bangsa Yahudi itu. Yesus adalah seorang Yahudi dan semua orang mengakui hal itu. Tetapi Allah tidak hanya menciptakan bangsa Israel melainkan  semua bangsa di dunia dan Ia mencintai mereka semua. Dan Ia mau menyelamatkan semua orang dari segala suku dan bangsa. Maka saya yakin bahwa suku-suku bangsa di Pegunungan Tengah Papua, yang selama ribuan tahun tidak dikenal oleh dunia luar, tidak pernah tinggal tersembunyi bagi Allah, dan bahwa Allah telah hadir dan bekerja di tengah mereka untuk mempersiapkan mereka bagi kedatangan Yesus dan Injil-Nya. Memang situasi suku-suku di Pegunungan Tengah Papua berbeda dengan situasi Bangsa Israel di Timur Tengah; dan kehadiran Allah dalam sejarah, kebudayaan, dan pergumulan hidup mereka tentu dialami, ditanggapi, dan dihayati oleh masyarakat Papua ini secara berbeda pula. Tetapi saya berani mengatakan bahwa pada hakekatnya setiap bangsa dapat dianggap sebagai ‘Bangsa Allah’ dan bahwa setiap bangsa mempunyai ‘Perjanjian Lama’ mereka sendiri dengan kekhasan dan keunikan tertentu. Saya menyesal bahwa kesaksian para bapa bangsa atau suku Papua tidak tersimpan secara tertulis, namun bilamana kita sungguh-sungguh mempelajari sejarah dan kebudayaan mereka dengan penuh hormat dan tanpa apriori negatif, maka kita akan menemukan di dalamnya hasil dari pekerjaan serta bimbingan Tuhan. Mungkin terdapat juga di dalamnya unsur-unsur yang pada gilirannya bisa memberikan inspirasi kepada orang-orang dari suku bangsa lain. Dalam dokumen Konsili Vatikan-II, Gereja Katolik mengakui dan menerima unsur-unsur:

“…yang dalam agama-agama (asli) itu serba benar dan suci….yang tidak jarang memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi mereka”. Oleh karena itu Konsili Vatikan-II selanjutnya “…mendorong para pewarta untuk dengan bijaksana dan penuh kasih, untuk melalui dialog dan kerja sama dengan agama-agama asli itu, …mengakui, memelihara, dan mengembangkan harta-kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka”. 

Dengan pernyataan ini Gereja Katolik sekaligus menyatakan bahwa studi kebudayaan merupakan suatu hal yang penting bagi para pewarta Injil, karena mereka tidak diutus kepada orang-orang yang serba kosong melainkan kepada orang-orang yang sejak dahulu sudah dibimbing oleh Allah. Para pewarta melanjutkan dan menyambung pada apa yang sudah dimulai oleh Allah sendiri.

bersambung….

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *