Sebuah Refleksi
Oleh: Pater Frans Lieshout, OFM
Petunjuk Hidup Baik
Orang Balim tidak berani menyebut nama Sang Pencipta dan tidak mengenal ibadah-ibadah atau persembahan-persembahan kepada-Nya, namun mereka sangat mementingkan relasi yang baik dengan para leluhur, dengan sesama manusia, dan dengan alam semesta, karena semuanya itu merupakan satu kesatuan yang saling bergantungan satu dari yang lain. Hidup baik berarti memelihara relasi tersebut, yang diyakini memberikan kesuburan, kesehatan, dan kesejahteraan. Kitab Suci juga berulang-ulang kali menegaskan bahwa praktek hidup baik merupakan persembahan yang paling berkenan kepada Tuhan (Lihat juga Ul. 5:16). Seperti bangsa Israel telah menerima Hukum Taurat dari Tuhan melalui Nabi Musa (ke-10 Sabda Tuhan atau Perintah Tuhan), orang Balim telah menerima dari para leluhur mereka ‘Petunjuk Hidup Baik’, Wene Hesekewa Kolik Welagarek, (heseke= keempat tiang penopang honai). Maka Pedoman Hidup Baik bergantung pada tiang-tiang honai atau dengan kata lain: Pedoman Hidup Baik menopang seluruh kehidupan seperti ke-empat tiang menopang honai. Petunjuk Hidup Baik tersebut meliputi seluruh tatanan hidup, semua nilai-nilai atau norma-norma untuk hidup baik termasuk juga larangan-larangan, yaitu segala sesuatu yang harus dihindari. Semuanya itu ada di honai, maka segala hal yang penting, suka dan duka, mereka bicarakan dan gumuli di honai. Pedoman Hidup itu dilihat juga seperti sebuah pagar (leget) yang melindungi manusia. Anak-anak belajar dan berlatih tentang Pedoman Hidup Baik itu bukan dari suatu buku melainkan dari teladan hidup orangtua dan seluruh komunitas mereka yang disertai dengan kontrol sosial yang ketat. Saya akan menyebut beberapa unsur penting dari Petunjuk Hidup Baik tersebut:
Kebersamaan – Komunitas
Orang Balim melihat dirinya sendiri sebagai bagian dari suatu keseluruhan yang pada hakikatnya adalah sakral dan yang meliputi para leluhur, orang-orang yang masih hidup maupun yang sudah meninggal serta alam semesta. Nilai Kebersamaan dengan sesama manusia (Wene Opakima Dapulik) dihayati dan diungkapkan secara khas Balim dengan cara bersalaman, hidup bersama, bekerja bersama, makan bersama, berunding bersama, menari dan bernyanyi bersama, dengan struktur keluarga, arsitektur perumahan, dengan seremoni-seremoni adat dan dengan berbagai macam simbol. Satu contoh: orang Balim memberikan salam dengan menyebut relasinya dengan orang lain itu (bapa, ibu, kakak, adik, om dslb.) seperti anggota-anggota dari satu keluarga. Dan mereka berjabat tangan sambil berdiri tegak serta saling memandang di mata, siap untuk melayaninya. Mengherankan bahwa akhir-akhir ini anak-anak diajarkan di sekolah-sekolah suatu cara lain dari suatu kebudayaan asing yaitu dengan menunduk kepala (sungkem) dan mencium tangan orang, seakan-akan cara khas Balim kurang sopan? Ini boleh dilihat sebagai suatu contoh mengenai arogansi kultural dari orang yang tidak menghargai budaya Balim. Sungguh menarik bagi saya untuk melihat bagaimana masyarakat asli (primitif berarti asli) ini berhasil mengembangkan suatu model hidup bersama, yang juga mengagumkan orang-orang dari manca negara yang datang mengunjungi daerah ini. Masyarakat Balim hidup dalam komunitas-komunitas kecil (2 sampai 6 atau lebih rumah tangga) dalam satu kampung yang disebut Sili. Tiap sili terdiri dari satu rumah laki-laki (honai), beberapa rumah induk atau rumah keluarga(ebeai) untuk kaum perempuan dan satu dapur (hunila) dengan beberapa tungku api tanpa dinding pemisah. Di sili itu mereka masak, makan, tidur, berbicara, dan berunding bersama, tanpa menuntut banyak ruang perseorangan. Arsitektur rumah-rumah berbentuk bulat mencerminkan kebersamaan mereka. Di halaman (silimo) diadakan kegiatan-kegiatan bersama seperti upacara-upacara adat, memasak secara tradisional (bakar batu), memperabukan jenasah orang yang meninggal, dll. Ada komunitas-komunitas yang lebih besar daripada silimo, yaitu kampung, klen dan suku, bahkan federasi dan konfederasi (khususnya di zaman perang suku). Kekuatan orang Balim adalah kebersamaannya, tetapi sendirian ia lemah dan menunggu inisiatif orang lain.
Pola hidup bersama ini agak berbeda dengan yang di banyak daerah lain. Upaya dari pemerintah untuk mengubah pola hidup itu dengan membangun rumah-rumah “sehat” yang terpisah satu dari yang lain, belum banyak berhasil karena kurang memungkinkan untuk menghayati nilai kebersamaan dan yang justru menyebabkan hidup individualistis. Orang Balim mau menyatakan dirinya sebagai manusia yang saling membutuhkan dan saling bergantung satu sama lain untuk dapat berkembang. Nilai kebersamaan itu tidak terlepas dari nilai cinta kasih, wene nabua-habua meke hasik (nilai saling mengasihi dan membagi). Orang yang benar adalah orang yang melayani sesama manusia. Anak-anak sejak kecil dididik oleh orangtua mereka dengan nasihat-nasihat seperti:
- Kain egarek ati eki kok ileken werek halok: Orang besar adalah orang yang melihat kebutuhan orang lain dan melayaninya.
- Hetaiken weak halok hewe kepu asigin: Jikalau hatimu tidak baik maka engkau menjadi orang yang tidak berarti apa-apa.
- Akhuni weaktek atoma hakmoup hogo: Kasihilah orang-orang yang keadaannya kurang baik (lemah, sakit, miskin, yatim, janda dll).
- Kalau orang Balim mau makan, ia selalu harus duduk dan menunggu orang lain untuk makan bersama. Sebelum mulai makan ia akan melihat apakah orang lain sudah dapat makanan. Kalau belum, ia akan membagikan makanannya sendiri. Makan bersama rasanya lebih enak, kata mereka.
Nilai nabua-habua tersebut akan lebih ditegaskan lagi oleh Yesus yang mengatakan: “Kasihilah seorang akan yang lain” (Yoh. 15:17), bahkan “kasihilah musuh-musuhmu” (Mat. 5:44).
Kepemimpinan
Kepemimpinan tradisional dalam komunitas- komunitas Balim dipercayakan kepada orang-orang yang berwibawa, bermoral baik dan berbakat untuk memimpin (Ap Kain). Ada kepala suku perang, yang memperhatikan keamanan, dan ada kepala suku kesuburan, yang memperhatikan ekonomi masyarakat. Walaupun mereka tidak dipilih secara demokratis modern namun mereka melayani kepentingan masyarakat, seperti diungkapkan dengan pernyataan-pernyataan sbb.: ‘Hewe kain asigiluk halok, akhuni yugunat inyamukut hotno’ (Kalau engkau mau menjadi seorang pemimpin, bersihkanlah ingus dari hidung orang-orang, siapapan juga mereka itu).
“Kain egarek ati, eki kok ileken werek halok’” (Kepala suku adalah dia yang mempunyai tangan dan mata yang terbuka).
Kepemimpinan tradisional tersebut telah menjadi agak lemah antara lain karena pengangkatan ‘kepala-kepala suku palsu’ (berplat merah) oleh pihak Pemerintah, yang mana telah turut menyebabkan bahwa masyarakat makin kehilangan pemimpinnya. Oleh sebab itu mereka telah meminta kepada Gereja (para pastor) supaya tetap mengakui kepala-kepala suku asli dan bekerja sama dengan mereka.
Kelahiran
Kelahiran seorang anak mendapat perhatian besar, khususnya dari ibu-ibu yang membawa noken-noken baru bagi ibu dari bayi itu. Tetapi kalau proses kelahiran sudah selesai dengan terlepasnya tali pusar, diadakan suatu upacara khusus, dalam mana anak bayi diberikan nama dan kemudian dimasukkan atau dibaringkan dalam sebuah noken (su). Dan seorang ibu membawa bayi dalam noken itu ke luar rumah. Pemberian nama dan pemasukan bayi dalam noken mepunyai arti yang mendalam, yaitu bahwa bayi tersebut secara resmi menjadi anggota komunitas yang dianggap sebagai berada dalam noken yang satu dan sama itu. (Seperti Yesus menjadi anggota bangsa-Nya waktu Ia disunatkan dan menerima nama). Barangkali harinya sang bayi diberikan nama dan dimasukkan dalam noken itu merupakan hari yang bagus untuk sekaligus memberikan Permandian.
Pembagian tugas bagi kaum laki-laki dan kaum perempuan
Pembagian tugas, peranan dan tanggungjawab bagi kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam keluarga dan berbagai komunitas menurut kehidupaan tradisional Balim dulu agak seimbang dan adil. Tetapi dalam hal ini telah terjadi suatu perubahan besar sehingga tidak lagi seimbang dan adil. Dulu, laki-laki harus menjaga keamanan sehingga ia selalu memegang sebuah tombak atau busur-anak-panah. Ia melakukan pekerjaan-pekerjaan berat seperti membuka ladang, menggali parit-parit, membuat pagar, membangun rumah dlsb, semuanya dengan alat kerja dari kayu. Kini tombak dan busur-anak-panah sudah dilarang, alat kerja diganti dengan sekop dan kapak besi, maka volume kerja untuk laki-laki sudah berkurang tetapi mereka sekaligus kehilangan sebagian dari identitas mereka. Apakah kehilangan identitas itu turut menyebabkan kecenderungan banyak laki-laki untuk mencari suatu alternatif dalam minuman beralkohol kah? Entahlah. Kaum muda yang dulu bekerja bersama dengan oangtua, sekarang pergi ke sekolah dan memerlukan banyak uang yang harus ditanggung oleh ibu-ibu yang mengurus untuk sebagian besar ekonomi rumah tangga. Maka tugas ibu-ibu telah menjadi makin banyak. Dengan makin berkurangnya kaum muda di kampung-kampung maka semangat bapa-bapa untuk ramai-ramai membuat kebun baru menjadi lemah. Tambah lagi bahwa Pemerintah dengan membagikan berbagai macam dana dan raskin menyebabkan bahwa terutama kaum laki-laki yang dulu kuat bekerja menjadi malas dan suka mengemis. Upaya dari berbagai pihak untuk memperdayakan kaum perempuan itu memang sangat baik, tetapi pemberdayaan kaum laki-laki tidak kalah penting dalam situasi sekarang ini. Masaalah ketidakseimbangan dalam tugas-tugas antara kaum laki-laki dan perempuan ini tidak boleh dituduhkan kepada kaum laki-laki melainkan perlu menjadi pokok musyawarah di masyarakat, misalnya dalam kursus persiapan perkawinan masal, untuk menemukan suatu keseimbangan yang baru dan terhormat.
Perkawinan dan Seksualitas
Perkawinan secara tradisional sebenarnya diadakan dalam rangka Pesta Mawe atau Pesta Wam Ebeako. Pesta besar itu merupakan suatu perayaan kehidupan, yang diadakan sekali dalam kurang-lebih 5 tahun dan berlangsung selama 5 sampai 6 bulan. Pesta tersebut terdiri dari beberapa puncak perayaan yaitu: Ap Wayaatau inisiasi, He Yokal atau perkawinan dan peringatan arwah orang yang sudah meninggal serta pemberian penghargaan kepada orang-orang yang berjasa secara istimewa bagi masyarakat. Pesta Mawe pernah dilarang oleh Pemerintah Daerah atas desakan dari Gereja-Gereja Pertobatan tetapi Gereja Katolik telah menentang secara tegas larangan itu dan menyelamatkan kebudayaan Balim itu. Sebagai persiapan pesta besar tersebut, lebih dahulu masyarakat mengadakan damai, membayar utang-utang mereka dan menyelesaikan semua perkara dan perselisihan yang masih ada. Kampung-kampung ramai-ramai dibersihkan dan rumah-rumah diperbaiki. Kayu bakar disiapkan dalam jumlah besar. Sekarang ini Pesta Mawe kurang diadakan lagi antara lain karena agak mengganggu irama hidup moderen (sekolah, kantor) dan karena perkawinan tidak lagi diadakan secara masal. Namun demikian kegiatan-kegiatan sebelum pesta Mawe itu sangat cocok untuk diadakan sebelum pesta-pesta besar sekarang ini seperti pesta natal dan/atau Paska sebagai aksi pertobatan dan rekonsiliasi.
Di bawah ini saya akan membicarakan satu pokok penting yaitu Perkawinan dan Seksualitas. Dalam masa perkenalan pertama dengan masyarakat Balim, kami mendapat kesan bahwa dorongan seksual mereka agak lemah dan segala sesuatu yang berkaitan dengan itu diatur secara tegas. Kemungkinan untuk perkenalan dan berpacaran oleh kaum muda-mudi hampir tidak ada dan hubungan seks antara mereka sama sekali tabu. Penjelasan oleh orangtua kepada anak-anak mengenai seksualitas hampir tidak diberikan. Kalau seorang gadis mendapat haid yang pertama (hotali), perempuan-perempuan di kampung itu ramai-ramai melempari siapa saja dengan lumpur dan kotoran lain. Setelah itu mereka semua pergi mandi dan mengenakan sali (rok khusus bagi seorang gadis) yang baru kepada gadis yang bersangkutan itu. Arti dari upacara hotali itu belum jelas tetapi barangkali ada suatu anggapan tersembunyi bahwa gadis yang mengalami hotali itu menjadi najis seperti dalam Perjanjian Lama juga disebutkan. Oleh karena makin melemahnya kontrol sosial sekarang ini dan dengan contoh-contoh kelakuan buruk serta porno yang tersedia di mana-mana maka ternyata dorongan seksual orang Balim tidak berbeda dengan yang di lain tempat, malah terkesan lebih tak terkendali dan terlalu bebas karena mereka baru saja terlepas dari kontrol sosial dari komunitas mereka. Perkawinan di Balim melibatkan seluruh komunitas mereka dan tidak merupakan suatu hal bagi dua individu saja. Dalam rangka pesta Mawe semua gadis yang matang serentak dikawinkan, di luar pesta Mawe tidak diadakan perkawinan. Di masa yang lalu pihak orangtua/om-om menentukan seorang jodoh bagi anak perempuan mereka, namun, menurut kesan saya, kemauan si perempuan lebih diperhatikan dari pada pilihan si laki-laki. Satu hal yang khusus di Balim adalah Wene Wita-Waya, petunjuk dari para leluhur mengenai sistim ‘moyety’ atau dua belahan suku, di mana sebagian dari masyarakat termasuk Waya dan sebagian Wita. Tiap klen atau marga disebut waya atau wita, dan anak-anak mengikuti ayah mereka. Seorang Waya tidak boleh kawin dengan Wayai dan sebaliknya. Pelanggaran dalam hal ini disebut Pawi atau inses berat. (Dulu, mereka yang melanggar peraturan ini dihukum mati dibunuh). Gereja memang harus menghormati peraturan Wita-Waya tersebut walaupun belum tentu bertentangan dengan hukum Gereja. (Ada kekecualian dalam hal ini: orang-orang tertentu bisa waya dan wita sekaligus. Misalnya Kepala Suku Besar Kurelu Mabel, untuk bagian atas ia wita dan bagian bawah ia waya, tetapi ia tetap harus kawin dengan waya). Perkawinan tradisional diakui oleh seluruh komunitas sebagai sah setelah proses perundingan dan pemberian mas kawin serta upacara penyerahan perempuan kepada pihak laki-laki sudah selesai. Bagian pokok dari mas kawin terdiri dari sejumlah ekor babi, yang tidak merupakan suatu ‘harga’ melainkan ‘penghargaan’. Sebelum calon pengantin perempuan dihantar secara meriah oleh komunitasnya ke kampung pengantin laki-laki, para ibu melepaskan Sali dari si gadis (Sali = busana seorang gadis) dan mengenakan kepadanya busana khas seorang ibu yaitu sebuah yokal dan sejumlah banyak noken atau su. Setelah itu calon pengantin perempuan menanam beberapa bibit ubi jalar (hipiri) dan pisang sebagai tanda perhatiannya terhadap orang-orang yang ia tinggalkan. Acara perkawinan disebut He Yokal, juga bilamana yang bersangkutan berpakaian modern dan tidak memakai yokal. Menurut adat Balim mereka yang sudah kawin secara resmi itu, sebenarnya tidak boleh cerai lagi. Praktek pelacuran merupakan suatu impor dari Jakarta dan tidak dikenal dalam budaya asli Balim. Semua perempuan dewasa mempunyai seorang suami, kecuali para janda, tetapi beberapa laki-laki yang tidak sanggup untuk kawin tinggal hidup sebagai bujang (doni) abadi. Hal yang sangat menonjol dalam budaya Balim adalah poligami. Suatu persentase tinggi dari kaum laki-laki beristeri lebih dari satu. Poligami diterima umum oleh masyarakat tetapi si suami harus sanggup untuk memelihara dan menjamin isteri-isterinya itu dan untuk hidup rukun dengan mereka. Kebiasaan poligami merupakan suatu tantangan bagi Gereja yang menghendaki perkawinan monogam. Sampai sekarang ini Gereja belum mempunyai suatu jawaban bagi orang Balim yang berpoligam selain Hukum Kanonik dan terkesan kurang bersedia untuk mempelajarinya secara obyektif dan dalam konteks kebudayaan Balim (arogansi lagi), walaupun ada teolog-teolog ternama yang berpandangan lebih luas dan berpendapat bahwa bilamana dalam suatu kebudayaan poligami diterima secara sosial, maka orang poligam bisa menerima sakramen permandian dan sakramen-sakramen lain. Setelah enampuluh tahun kehadiran Gereja-Gereja di daerah ini, persentase keluarga poligam belum berkurang secara signifikan (25 sampai 30 %). Rupanya pandangan Gereja mengenai perkawinan monogam belum menyentuh di hati orang dan teladan hidup keluarga-keluarga monogam belum menarik bagi kebanyakan orang. Apa lagi, menjadi orang berpoligami itu tidak hanya ditentukan oleh pribadi seseorang melainkan juga oleh pihak keluarga dan marga. Banyak orang poligam telah sungguh berjasa bagi perkembangan Gereja pada masa awal di daerah ini dan mereka merupakan elemen-elemen yang kuat dan berwibawa dalam masyarakat, maka dengan mengucilkan orang-orang poligam yang percaya kepada Yesus dan Injil dan dengan tidak lagi memberikan tempat kepada mereka dalam kehidupan serta struktur Gereja, maka umat katolik kehilangan unsur yang berpengaruh dalam masyarakat. Berbeda dengan orang Dani Barat, orang Lembah Agung Balim dari dulu sudah agak membatasi angka kelahiran anak. Jumlah kelahiran anak malah sekarang ini sudah berkurang dibandingkan dengan yang di awal tahun 1960-an. Poligami juga tidak menambahkan angka kelahiran. Bagaimana mereka mengatur hal itu belum begitu jelas. Dulu mereka berpantang berkala dan tidak boleh mengadakan hubungan seks setelah kelahiran seorang anak sampai ia berumur 5 atau 6 tahun. Selama perang suku berlangsung dan juga waktu mereka membuat kebun besar, hubungan seks dilarang. Selain itu mereka (ibu-ibu) pandai untuk melakukan aborsi. Menurut informasi yang saya peroleh, banyak pasangan sekarang ini takut untuk mengikuti program KB dari Pemerintah, antara lain karena ada pasangan yang mengalami kemandulan setelah mengikuti KB itu. Ada yang mengatakan bahwa mereka mengikuti cara yang dipakai oleh orangtua mereka dengan berpantang berkala sampai anak mereka pergi ke SD, namun dalam situasi sekarang ini saya kurang yakin akan hal itu dan saya khawatir bahwa kaum laki-laki akan mencari suatu alternatif dengan mengunjungi tempat pelacuran, hal mana lagi menambahkan bahaya penyebaran HIV. Mereka benar-benar mau hidup setia dengan isteri mereka tetapi tidak menginginkan kehamilan baru, sedangkan mereka takut untuk mengikuti KB dari Pemerintah. Maka dalam situasi ini masyarakat perlu mendapat bantuan a.l. dari pihak Gereja dengan mencari suatu alternatif yang baik dan sehat, misalnya dengan mempropagandakan KB-alamiah seperti pada tahun 2014 telah diperkenalkan melalui suatu program dari Keuskupan Jayapura. Sejauh mana program yang mendesak dan amat penting bagi masyarakat itu telah ditindaklanjuti di Lembah Balim ini, saya tidak tahu.
Kesalahan, Pengakuan: Rekonsiliasi
Orang Balim yakin bahwa mereka yang hidup sesuai petunjuk-petunjuk dari para leluhur, akan bahagia, sejahtera dan sehat walafiat. Tetapi kalau mereka melanggar petunjuk-petunjuk itu maka keadaan mereka akan tidak baik. Suatu pelanggaran besar malah dapat mengakibatkan suatu musibah atau bahkan kematian. Orang Balim sangat menyadari dampak buruk dari suatu pelanggaran bagi dirinya sendiri, bagi sesamanya dan bagi alam sekitarnya. Orang Balim tidak berbeda dengan orang lain dalam hal dosa, dulu tidak dan sekarang juga tidak. Tetapi suatu hal yang unik di Balim, yang belum pernah saya alami atau saksikan di suatu daerah lain adalah bahwa orang Balim mengenal suatu bentuk rekonsiliasi dengan saling mengaku dosa mereka secara terbuka dan polos. Hal itu saya saksikan untuk pertama kalinya pada tahun 1965 di kampung Abulukmo, paroki Musatfak, di mana terjadi suatu kasus pelanggaran seks atau Pawi. Yang bersangkutan akan mendapat hukuman berat, tetapi pelanggaran mereka itu juga sangat berdampak buruk bagi komunitas mereka, maka seluruh klen akan berkumpul untuk mengadakan upacara Ima Wusan (turun ke dalam air = penghapusan). Dalam upacara itu para peserta mengaku dosa-dosa mereka secara terbuka dan setelah itu mereka turun ke dalam air untuk dibersihkan dan kemudian mereka makan bersama sebagai tanda rekonsiliasi, pengampunan dan damai. Luarbiasa! Yesus bersabda: ‘Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni’ (Yoh. 20:23). Ada cara lain juga yang saya alami waktu seseorang bapa jatuh sakit karena Aids dan diopname di RSUD. Pihak keluarganya mengambil bapa itu dari rumah sakit untuk dalam lingkungan keluarganya saling mengaku dosa mereka. Yang menarik adalah bahwa tidak hanya si sakit yang mengaku dosanya melainkan anggota-anggota lain juga mengaku dosa mereka. Setelah pengakuan dosa, si penderita diyakini akan sembuh. Mereka yakin bahwa dosa-dosa mereka sudah tidak ada lagi dan bahkan bahwa virus HIV juga sudah tidak ada lagi. Pandangan ini perlu dikoreksi, dosa-dosa memang diampuni tetapi virus HIV tetap ada. Kebiasaan untuk mengaku dosa sampai sekarang dilakukan pada berbagai kesempatan, misalnya waktu terjadi suatu musibah, waktu orang jatuh sakit atau di saat seorang wanita melahirkan anaknya dsb. Di dekenat Jayawijaya ini kita mempunyai Liturgi Upacara Tobat inkulturatif yang menurut pengalaman saya cukup memuaskan para peserta umat. Liturgi itu disusun oleh ‘kelompok kerja inkulkturasi Dekenat’ pada tahun 1990-an. Unsur-unsur di dalamnya adalah pembacaan dari Kitab Suci, pengakuan dosa masing-masing umat dengan memakai simbol-simbol (berupa lidi-lidi, potongan lokop), yang diletakkan di depan altar dan kemudian dibakar oleh pemimpin upacara tobat itu. Kemudian imam mereciki umat dengan air berkat dan memberikan absolusi. Setelah ibadat tobat bersama, tidak diadakan perayaan Ekaristi melainkan diberikan kesempatan kepada umat untuk mengaku dosa dan menerima absolusi secara pribadi.
Kedukaan, Perabuan jenazah, Wakunmo
Semangat kebersamaan orang Balim terlihat sangat jelas pada waktu kematian seorang warga. Ibu-ibu menjaga jenazah yang biasanya dihiasi dan disemayamkan di rumah dapur umum dan mereka menangisinya sampai acara perabuan jenazahnya, yang biasanya dilakukan sehari setelah ia meninggal dunia. Sementara itu kaum laki-laki menerima para tamu yang datang melawat dan menangisi bersama-sama orang yang telah meninggal itu. Tempat duka (warekma) biasanya penuh dengan orang. Perabuan jenazah di Lembah Balim merupakan hal yang unik di tanah Papua dan termasuk agak modern karena perabuan jenazah makin sering dilakukan di dunia internasional. Sebelum diperabukan, jenazah dioles dengan minyak babi sebagai tanda penghapusan kesalahannya dan bekal untuk menuju ke hidup yang baru. Maka orang Balim percaya akan hidup yang baru sesudah kematian di dunia ini. Orang yang telah meninggal dunia dihapuskan kesalahannya agar bersih dan selamat dalam hidup yang baru itu. Satu atau dua hari setelah perabuan, suatu simbol dari orang mati itu dihantar ke kehidupan yang baru di wakunmo, tempat keselamatan. Wakunmo adalah suatu lokasi khusus yang dianggap sebagai tempat tinggal bagi para arwah dari klen tertentu. Di tengah-tengah lokasi itu terdapat suatu rumah kecil di mana ditempatkan ‘orang mati’ (ap warek) setelah acara perabuan. Yang dihantar ke wakunmo itu bukanlah sisa tulang atau abu dari orang mati melainkan sebuah isoak (buli-buli dan sege (tongkat).
Kita sudah mempunyai suatu Liturgi Perabuan Jenazah inkulturatif yang dulu disusun oleh ‘kelompok kerja untuk inkulturasi’. Ibadat arwah diadakan sebelum perabuan dan diterima baik oleh umat/masyarakat. Dalam upacara tersebut ada beberapa unsur penting yaitu: doa tobat, pembacaan Injil, doa umat, pemberkatan dan pengurapan jenazah oleh pastor, imam/wenewolok dan keluarga. Pada akhir ibadat, tempat perabuan diberkati setelah api diletakkan di atasnya. Pada saat jenazah diperabukan dan sesudahnya umat/masyarakat mengungkapkan kesedihan mereka dengan menangis bersama-sama. Menyangkut wakunmo sudah dan sedang terjadi suatu perkembangan dalam umat kita. Sampai sekarang Gereja belum terlibat dalam bagian ini. Ada umat yang bertanya kepada pastor: apakah simbol bagi ‘orang mati’ yang telah dibaptis, harus dihantar ke wakunmo atau ke Gereja? Kiranya pastor itu tidak boleh menjawab pertanyaan itu secara pribadi, karena ia tidak mempunyai suatu dasar bagi hal itu. Lebih baik hal itu digumuli dan dibicarakan bersama oleh umat bersama dengan Gereja untuk mendapat suatu konsensus dan praktek yang sama. Sekarang ini ada ketidak seragaman. Ada yang tetap menghantar ‘orang mati’ yang serani itu ke wakunmo; ada yang menghantarnya ke Gereja berupa sebuah noken dan ujud/persembahan/yerebo (babi hidup); ada yang menghantarnya baik ke wakunmo maupun ke Gereja. Kebijaksanaan Gereja dalam hal ini belum jelas. Memang uang, ujud dan yerebo pasti diterima oleh pastor, tetapi bagaimana selanjutnya? Hanya didoakan saja kah? Hal ini perlu dibicarakan bersama. Di banyak daerah lain, Gereja Katolik mempunyai pekuburan khusus untuk umatnya. Barangkali perlu dipikirkan untuk membuat suatu ‘wakunmo’ khusus di tiap paroki, misalnya suatu tempat di gedung gereja di mana nama-nama orang yang telah meninggal dunia dicatat dan dapat dilihat oleh umat. Saya pernah melihat di suatu paroki di mana untuk tiap orang yang meninggal dunia dalam satu tahun, dipasang sebuah salib kecil dari kayu di dinding depan dalam gedung gereja dengan tulisan nama masing-masing. Sesudah Hari Peringatan para arwah (tgl. 2 November) mereka didoakan secara khusus dan nama-nama mereka dicatat pada suatu daftar atau dalam buku “Liber Defunctorum” yang dapat dilihat oleh umat. Pokonya hal ini dapat menjadi suatu kemungkinan baik untuk berinkulturasi, menjadi suatu wakunmo baru.