Pater Neles Kebadabi Tebay Pr: ‘Perintis Jalan’

In Memoriam

Oleh: Theo van den Broek

Krans bunga, jumlahnya sangat besar memenuhi pinggir jalan menuju aula STFT (Sekolah Tinggi Filsafat dan Theologi Fajar Timur), tempat Pater Neles Kebadabi Tebay Pr disemayamkan. Segala lapisan masyarakat hadir dan mengucapkan rasa berduka cita itu: pemerintah (lokal maupun nasional), lembaga keagamaan, LSM, Universitas dan Perguruan Tinggi, pihak keamanan, komunitas mahasiswa serta individu-individu. Tidak perlu diragukan: orang yang meninggal pada umur 55 tahun, orang yang melawan kanker tulang yang menghancurkan tubuhnya, adalah seorang yang selama hidupnya telah berhasil mengena secara mendalam hati dan pikiran banyak orang.

Di sini, STFT Fajar Timur, tempat dimana Pater Neles mendidik, membina dan memberikan kuliah dari 2007 sampai 2019. Untuk menyiapkan diri bagi tugas mengajar dia berstudi di Fillipina (Atenao Jesuit) 1995-1998 dan di Roma (Pontificia Universitas Urbaniana) 2000 – 2006. Beliau juga berada di STFT selama tahun 1998-1999, sebelum berangkat studi di Roma, waktu dia turut menghayati suatu ‘musim semi’ di Papua yang menyegarkan kita semua setelah Presiden Suharto dipaksa turun tahtanya. Tiba-tiba kita dapat menikmati ruangan luas untuk mengungkapkan secara bebas segala aspirasi serta mimpi kita. Gereja-gereja juga berespons pada suasana terbuka ini dan mulai memberikan perhatian lebih serius lagi pada isu HAM serta aspirasi masyarakat Papua. Gereja juga bersuara jelas melalui a.l. SKP (Sekretariat Keadilan dan Perdamaian) dalam lingkungan Gereja Katolik dan melalui ELSHAM (Lembaga Studi Hak Asasi Manusia) yang erat kerjasamanya dengan Gereja Protestan (GKI dan Kingmi).

Pater Neles terdorong bergabung dalam perkembangan-perkembangan ini karena niatnya untuk mencari suatu jalan keluar dari permasalalah sosial-politik di Papua yang sangat melumpuhkan kita semua. Waktu ditahbiskan imam (tahun 1992) di Waghete, kampung asalnya, Waghete, orang-orang tua di kampung memberikan kepadanya satu nama khusus, “Kebadabi”, yang artinya ‘perintis jalan’. Berhubungan dengan misi yang terkandung dalam nama itu, segala perhatian baru akan suasana HAM di Papua serta pengungkapan aspirasi nyata menjadi suatu tantangan khusus bagi beliau.

Walau beliau berangkat ke Roma (2000), dia terus merawat hubungan erat dengan a.l. SKP dan mengikuti segala perkembangan di Papua. Termasuk peristiwa kunci seperti Kongres Bangsa Papua ke-II dimana aspirasi mendalam untuk mencari kemerdekaan sangat digema-gemakan. Termasuk juga upaya inspiratif dari pihak SKP yang mengadakan suatu lokakarya bertema ‘Membangun Budaya Damai Menuju Papua Tanah Damai’ (2002) yang melibatkan segala lapisan masyarakat guna menggali apa artinya ‘damai’ secara konkrit di Papua. Lokakarya itu menghasilkan suatu pemahaman komprehensif mengenai ‘Damai’ dengan mengangkat sejumlah aspek yang sangat penting: harmoni serta persatuan, keadilan serta kebenaran, pengakuan serta harga diri, partisipasi bagi semua, kesejahteraan, serta informasi dan komunikasi. Sekaligus melalui lokakarya itu semboyan “Papua Tanah Damai” makin dimasyarakatkan menjadi suatu payung bagi banyak pihak yang berkehendak baik. Pater Neles mengikuti segala perkembangan ini dengan saksama dan menjadikannya isi dari rencana kerjanya sendiri.

Mengingat bahwa minat akan situasi di Papua di kalangan internasional meningkat, lebih-lebih di Benua Eropa, Pater Neles menjadi seorang nara sumber yang paling dicari untuk menggambarkan situasi dan perspektif penyelesaian masalah di Papua. Selama beberapa tahun Pater Neles, sering dalam kerjasama dengan SKP dan Elsham, berhasil membangun jejaringan kontak yang mengesankan dan berhasil menumbuhkan pemahaman serta simpati berhubungan dengan permasalahan di Papua di tingkat komunitas internasional.

Sekembalinya di Papua (2007) Pater Neles melanjutkan perjalanannya sebagai ‘seorang dengan suatu misi’. Januari 2010 sejumlah aktivis termasuk Pater Neles membentuk JDP (Jaringan Damai Papua) dan beliau ditunjuk sebagai koordinator aktvitas JDP di Papua. Guna me-lobi di tingkat nasional (Jakarta) Bp Muridan S. Widjojo, seorang staf peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) diminta menjadi koordinatornya. Melalui agenda kerja JDP semboyan “Papua Tanah Damai” dan ‘konsep pemahaman damai’ (lokakarya SKP 2002) makin dilengkapi dengan suatu struktur operasional dan strategi. Sekaligus hasil studi LIPI, “Papua Road Map, Negosiasi Masa Lampau, Memperbaiki Masa Sekarang, dan Mengamankan Masa Depan” dipakai sebagai pola analisa ilmiah. Tujuan JDP dapat dirangkumkan dalam satu kata: DIALOG ! Penjelasannya yang sederhana: ‘kalau kita tahan pada “persyaratan mutlak”, yakni ‘NKRI harga mati’ di pihak Indonesia, dan ‘Kemerdekaan harga mati’ di pihak Papua, kita tetap dalam jalan buntu, tidak ada jalan keluar dan akhirnya kita mati semua. Kita perlu membuka diri, kita perlu mencari kebenaran bersama dan kita perlu saling mengakui untuk menemukan suatu jalan keluar yang bermartabat. Duduk bersama dan berdialog secara benar dan jujur sebagai satu-satunya jalan menuju suatu penyelesaian yang sesuai martabat manusia dan penghargaan satu sama yang lain’.

Di bawah pimpinan bersemangat Pater Neles, JDP menyelenggarakan serangkaian pertemuan konsultasi dengan komunitas-komunitas asli Papua di pelbagai wilayah, dan dalam tahap kedua juga melibatkan komunitas-komunitas migran dalam konsultasi itu. Topik pembahasan: apa permasalahan di Papua dan apa yang kita lakukan demi penyelesaiannya? Pesan dialog perlahan-lahan menjadi buah bibir banyak warga masyarakat Papua. Dalam waktu yang bersamaan, suatu proses me-lobi intensif dijalankan di tingkat pusat pemerintahan. Usaha lobi ini, Pater Neles sangat dibantu Bapak Muridan untuk merebutkan hati dan pikiran kalangan para penguasa, termasuk telinga terbuka dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Sementara waktu Pater Neles juga menjangkau suatu publik yang luas melalui tulisan-tulisannya; lebih-lebih melalui artikel-artikel yang diterbitkan melalui mass media nasional (a.l. Jakarta Post dan Suara Pembaruan). Gaya menulisnya Pater Neles cukup menarik karena beliau mampu untuk merumuskan suatu masalah kompleks dengan kata-kata yang sederhana, sambil menunjukkan kehormatan pada pihak-pihak yang berbeda pendapat. Dia berhasil untuk memperkenalkan ‘Papua lain’ kepada para pembaca, lainnya dengan apa yang lazimnya dipresentasikan dalam mass media. Kemampuan Pater Neles untuk berkomunikasi dengan siapa saja, dari President sampai warga di kampungnya, adalah salah satu bagian luarbiasa dari kepribadiannya.

Segala hasil konsultasi di seluruh wilayah Papua akhirnya dirangkumkan selama suatu Konperensi Damai di Papua bulan Agustus 2011. Konperensi ini sangat didukung oleh pemerintah pusat, maka menjadi suatu titik harapan yang kuat dalam proses menuju suatu dialog sejati. Konperensi ini menghasilkan suatu daftar indikator damai untuk Papua yang diidentifikasi untuk pelbagai bidang perhatian (sektor ekonomi, kesehatan, pendidikan, sosio-budaya, keamanan dan politik). Maka, Konperesi menawarkan suatu Roadmap untuk Damai di Papua, yang tinggal dipakai saja.

Pada akhir Konperensi juga diberikan perhatian pada tolok ukur untuk menyeleksi para jurubicara bangsa Papua dalam dialog di kemudian hari. Isi tolok ukur ini membuat sejumlah peserta wakil pemerintah pusat bingung, sampai mempertanyakan apakah kita ‘membahas perlunya suatu dialog? Atau berbicara mengenai aspirasi kemerdekaan? Kebingungan itu sangat berdampak pada hubungan selanjutnya dengan pihak pemerintah. Hal demikian membuat suasana sulit bagi JDP. Namun Pater Neles dengan tim-JDP tidak pernah kehilangan keyakinan bahwa ‘jalan dialog’ tetap perlu dikejar karena merupakan jalan yang benar; maka upaya untuk merangkul segala pihak mencari suatu penyelesaian bersama tetap perlu dijalankan betapapun sensitifnya isi pembahasannya.

Suatu peristiwa khusus (Oktober 2011), penyelenggaraan Kongres Bangsa Papua ke-III, secara tidak langsung mendorong lagi semangat mencari dialog sebagai sarana penyelesaian masalah secara damai. Setelah Kongres ini menyatakan kemerdekaan Papua, para partisipan dihadapkan dengan suatu aksi yang sangat brutal oleh pihak keamanan: ada yang dibunuh, ada yang dipukul, ada yang dibawa ke kantor polisi, dan seluruh pimpinan Kongres dipenjarakan. Berita mengenai tindakan brutal pihak keamanan mendorong sejumlah tokoh nasional di Indonesia untuk mempertanyakan gaya politik Indonesia di Papua. Mereka menyerukan perlunya suatu pendekatan yang bermartabat, bukan pendekatan kekerasan. Perlu suatu dialog. Ternyata upaya Pater Neles bersama tim-JDP telah berbekas pada sejumlah orang penting di Indonesia.

Sembilan pertemuan eksploratif mulai diselenggarakan selama kurun waktu 2012-2014 dimana wakil-wakil dari Papua (ditunjuk oleh JDP) bertemu dengan wakil-wakil dari pemerintah pusat. Tujuan utama: mulai saling mengenal, membangun kepercayaan satu sama yang lain dan menyatukan persepsi sedapat mungkin. Walaupun suatu rangkuman hasil ke-sembilan pertemuan ini disusun, dampaknya akhirnya cukup terbatas saja. Hal ini terjadi karena selama kesembilan pertemuan ini susunan perwakilan pemerintah pusat sangat berubah-ubah maka suatu berkelanjutan dalam pengembangan kemajuan bersama kurang tercapai.

Sementara waktu komitmen Pater Neles pada upaya mencari suatu jalan keluar secara damai di Papua, yang sudah agak lama diperhatikan komunitas international di Eropa, sekarang juga mulai menangkap mata di Asia. Pada tahun 2013 Pater Neles menerima suatu penghargaan yang sangat bergengsi di Korea Selatan, yakni Tji Hak-soon Justice and Peace Award. Pengakuan di tingkat internasional ini dapat turut mendorong Pemerintah Indonesia untuk membuka diri secara lebih aktif buat suatu dialog.

Perlu dicatat bahwa dukungan masyarakat luas untuk dialog mulai tertekan karena suatu perkembangan baru, yakni gerakan untuk menjadikan ‘masalah Papua’ sebagai isu internasional. Internasionalisasi ini tertunjuk dalam dukungan yang a.l. diberikan oleh sejumlah Negara di wilayah Pasifik. Suatu akibat lainnya, terbentuk sarana perwakilan bangsa Papua, yakni ULMWP (United Liberation Movement of West Papua) sebagai suatu gabungan pelbagai organisasi perjuangan di Papua. Jangan lupa juga bahwa melalui proses ini perjuangan kemerdekaan Papua menjadi suatu topik pembahasan di forum internasional seperti PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) dan EU (Uni Eropa). Semua perkembangan ini sangat diperhatikan masyarakat luas di Papua, dan meningkatkan pengharapan banyak orang. Mengingat juga bahwa dalam perjuangan internasional ini, bukan dialog yang menjadi pusat, melainkan tuntutan untuk suatu referendum baru. Suatu referendum baru juga adalah sasaran pusat perjuangan KNPB (Komisi Nasional Papaua Barat) dan dampaknya besar di kampong-kampong di Papua. Sementara terjadinya pelanggaran HAM, dan ancaman ditangkap, dipukul, malahan dibunuh makin diterima oleh para pejuang KNPB sebagai suatu ‘harga’ yang perlu dibayar dalam memperjuangkan pembebasan Papua.

Dalam konteks seperti digambarkan di atas suatu seruan untuk ‘duduk bersama dan berdialog’ sudah mulai kehilangan tanggapan yang bersemangat. Malahan sekali-kali Pater Neles dikabarkan sudah berada di ‘markas lawan’ dan/atau tidak dipercaya lagi. Namun demikian Pater Neles – dan ini menjadi salah satu ciri khas kepribadiannya – tidak pernah putus asa atau kehilangan harapan. Dia terus menggemakan seruannya untuk melawan segala bentuk kekerasan dan mencari suatu jalan yang penuh damai, suatu dialog yang sejati. Beliau juga sempat bertemu Presiden Jokowi (Agustus 2017) dan memperjelaskan kedudukan permasalahan di Papua dan bagaimana dapat diselesaikan dengan martabat.

Pada akhir 2017 Presiden Jokowi, dalam suatu upaya untuk memajukan penyelesaian permasalahan di Papua, membentuk suatu komisi nasional yang diketuai Pater Neles. Tugas komisi untuk memulai suatu ‘dialog sektoral’ di Papua. Artinya: permasalahan dalam sejumlah sektor kemasyarakatan dibahas serta mencari solusinya yang tepat. Sektor-sektor perhatian yang dimandatkan pada komisi adalah sektor pendidikan, sektor kesehatan, sektor pemerintahan yang baik, sektor ekonomi dan budaya. Ternyata sektor keamanan serta sektor politik tidak dimasukkan dalam mandat komisi ini. Walau kecewa dengan pembatasan sektor tadi dan setelah berunding dengan kawan-kawan JDP, Pater Neles menerima penugasannya oleh Presiden. Tidak semua temannya senang dengan penerimaan itu dan menyampaikannya kepada Pater Neles. Beliau menghargai perbedaan pendapat, namun sekaligus memperjelaskan bahwa sebaiknya dia terima undangan ini karena sekali lagi ada suatu keterbukaan kecil menuju dialog; sebaiknya kesempatan ini dipakai dengan harapan pun bahwa dialog-sektoral ini, walau terbatas sektornya, akhirnya dapat membantu untuk buka jalan pada dialog yang sebenarnya diharapkan bangsa Papua.

Pater Neles telah berjuang tanpa tahu lelah untuk menemui suatu jalan keluar dari permasalahan di Papua dengan damai dan bermartabat. Kenyataan itu disaksikan kita bersama dan membuat beliau menjadi seorang ‘perintis jalan’ yang menunjukkan arah yang tepat. Dalam perjuangan ini Pater Neles menerima dukungan maupun perlawanan, dan dia mampu untuk menghargai keduanya dan tidak memaksa pendapatnya, namun bersedia untuk selalu membagikan pikiran serta visinya. Jurubicara Internasional KNPB, Victor Yeimo, mengungkapkan pengalaman itu dengan menyatakan: “Kebadabi (sang perintis jalan) itu telah tiada. Ia tinggalkan jalan penyelesaian damai tanpa menhancurkan perjuangan bangsa Papua”.

Perjuangan yang konsisten Pater Neles, kepercayaan serta optimismenya, tertawanya yang menghangatkan kita serta kemampuannya yang tinggi, telah membuat Pater Neles seorang yang diterima dan dicintai banyak orang, membuatnya seorang yang diharapkan dapat diangkat sebagai Uskup pertama orang Papua di Papua, dan membuatnya seorang yang sangat terasa kehilangannya sekarang ini. Dialah seorang yang sangat patut dibanggakan bangsa Papua, sebagaimana terungkap seorang gurunya, Philipus Degei, sewaktu pemakaman: “Kami, suatu komunitas asli Papua, yang sering dinilai terbelakang, kami, ya kami, memberikan pribadi orang yang besar ini kepada Papua, Indonesia dan Dunia”.

Mendengar banyak orang yang hadir sewaktu acara-acara sekitar pemakaman Pater Neles, kami dapat menyimpulkan satu hal tanpa ragu-ragu: ’orang Papua menemukan dalam kehidupan dan perjuangan Pater Neles mereka sendiri punyai mimpi dan aspirasi: diakui dan hidup dalam damai, damai, damai! Aspirasi/mimpi ini terungkap dalam diri Pater Neles, dan karena itu beliau patut diikuti, hari ini dan besok!

TERIMA KASIH BANYAK SOBAT !

Hari Paskah, 21 April 2019

Tulisan ini sudah dimuat juga di http:/www.humanrightspapua.org/news/31-2019/431-in-memoriam-father-neles-kebadabi-tebay-a-pioneer

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *