“Kami perlu memahami secara baik penderitaan yang umat kami alami di Tanah Papua, sehingga kami juga bisa melakukan sesuatu dengan tepat dan benar”
Begitulah pengantar yang disampaikan oleh Ketua Ikatan Religius Jayapura Keerom (Irjarom) Pater Hendrik Nahak, OFM di Aula Susteran Maranatha Waena, Kota Jayapura, Kamis, 6 Juni 2019. Mewakili para religius yang tersebar di Jayapura Raya dan Keerom, Pater Hendrik mengharapkan segala informasi yang benar perlu diketahui dengan baik, khususnya penderitaan dan kesengsaraan yang dialami oleh umat atau orang asli Papua di tanahnya. Diakuinya bahwa selama ini, para religius di tempat pelayanannya sudah berusaha membantu umat atau masyarakat asli Papua yang menderita. Ada yang bergerak di pendidikan, kesehatan, tenaga pastoral dan lain sebagainya.
“Kami berharap penyampaian materi dari Bapak Agus Sumule tentang penderitaan yang dialami oleh masyarakat asli Papua dapat membantu kami untuk melayani umat kami yang menderita,” kata Pater Hendrik Nahak dalam sambutannya.
Kegiatan Diskusi dan Sharing Hak Asasi Manusia dengan Irjarom ini merupakan salah satu kegiatan untuk terus mengingatkan para religius atau kaum berjubah mengetahui segala yang dialami atau diderita oleh orang asli Papua dan alam Papua. Kegiatan ini merupakan agenda Irjarom dan pada kesempatan ini difasilitasi oleh Sekretariat Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua (SKPKC FP). Direktur SKPKC FP Pater Gonsa Saur, OFM dalam pemaparan materinya tentang HAM, JPIC dan Ajaran Sosial Gereja, mengajak semua kaum religius atau berjubah untuk terus bersuara dan melayani mereka yang menderita.
“Karena kita tinggal dan hidup di Tanah Papua berarti secara otomatis kita harus peka dan membantu umat atau masyarakat asli Papua dan lingkungannya yang terus menderita. Kita membantu untuk memperbaikinya sehingga ada keadilan dan kebebasan akan kedamaian sungguh-sungguh dialami oleh umat atau masyarakat kita,” jelas Pater Gonsa.
Pemateri yang lainnya, Dr. Agus Sumule, dalam pemaparan materinya, berharap akan kedamaian itu tetap ada dan terwujud di Tanah Papua. Kedamaian itu memang memerlukan suatu usaha yang cukup berat dari semua orang yang tinggal di Tanah Papua. Dr. Agus Sumule, memaparkan salah satu akar penderitaan yang terus berkepanjangan adalah PEPERA 1969. Menurut Agus, UU No.12 tahun 1969 tentang Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat itu juga merupakan peraturan yang bertentangan dengan UUD 1945.
“Sekarang kami tergabung dalam sebuah tim untuk menggugat UU tersebut dan PEPERA yang terjadi pada saat itu. Masih ada banyak saksi yang hidup dan memiliki bukti kuat untuk melihat bahwa PEPERA adalah tindakan yang bertentangan dengan Hak berekspresi secara bebas dan menentukan nasib sendiri”, Dr. Agus Sumule menjelaskan materinya di hadapan para religius yang hadir.
Usaha ini tidak gampang dan mudah. Persiapan untuk usaha ini sudah dilakukan 6 tahun silam. Segala cara kita harus lakukan untuk meluruskan sejarah dan akar penderitaan yang dialami oleh masyarakat dan alam Papua. Kebenaran itu harus diusahakan dan ditegakan walaupun banyak menentang dan menolaknya.
Lebih lanjut Dr. Agus menjelaskan bahwa salah satu hal yang penting adalah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi serta Pengadilan HAM di Tanah Papua. Hal ini dimaksudkan untuk segala kejahatan dan kebusukan yang selama ini dilakukan oleh Negara Indonesia bisa terungkap dan Negara harus bersikap terbuka, jujur dan meminta maaf kepada korban dan keluarganya. Banyak kasus penembakan dan pengrusakan lingkungan di Papua demi kepentingan kelompok tertentu terus menjadi ancaman bagi kelangsungan perdamaian dan kehidupan generasi Papua di tanahnya.
Hal ini diperkuat oleh Pater Gonsa Saur yang mengutip Ajaran Sosial Paus Yohanes XXIII “Pacem In Terris” (Damai di Bumi) yang menegaskan hak asasi manusia, panggilan untuk perdamaian dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Menurut Pater Gonsa, ajakan Paus Yohanes ini juga mengajak semua orang yang berkehendak baik untuk menciptakan perdamaian dan keadilan di Tanah Papua, khususnya bagi mereka yang menderita.
“Kita (para religius) diajak untuk terus bersuara dan berjuang bersama mereka yang menderita. Kita hidup di Tanah Papua berarti kita punya tanggung jawab moral untuk bersuara dan melayani mereka, orang asli Papua dan alamnya yang terus menderita. Banyak pihak yang mengkritik kita, dimana peran kita, maka saya yakin dan percaya bahwa kita semuanya bisa membalas kritikan tersebut dengan bertindak dan membantu mereka yang menderita”, jelas Pater Gonsa.
Salah satu religius yang hadir, Br. Elias Logo, OFM, menjelaskan bahwa saat ini korban atau orang asli Papua tidak percaya lagi terhadap Negara ini. Karena segala pelanggaran tidak diselesaikan. Walaupun demikian, perjuangan untuk perdamaian tetap harus dilakukan di tanah ini. Selain itu peserta yang lainnya, Pater Soter OFM mengatakan bahwa semua religius yang hadir dalam kegiatan ini mempunyai hati untuk kemanusiaan di Tanah Papua.
“Kiranya semangat dan spiritualitas yang diajarkan dalam tarekat atau ordo kita masing-masing membangkitkan kita semuanya untuk terus bersuara dan bertindak demi keadilan dan kedamaian di Tanah Papua,” ungkap Pater Soter.