Papua Dibawa Kemana?

Sebuah refleksi

Oleh: Theo van den Broek

Selama beberapa minggu saya coba mengikuti segala perkembangan di Papua pasca tindakan rasis di Jawa Timur (Surabaya, Malang, Semarang). Situasi ini menunjukkan bahwa Indonesia sebagai ‘negara multi-budaya’ masih jauh dari harapan. Sekaligus kejadian itu menjadi pukulan serta rasa terhina yang sangat mendalam bagi masyarakat asli Papua maupun bagi para pendatang yang peduli. Akibatnya, masyarakat Papua merasa marah dan sewajarnya memilih untuk mengungkapkan perasaan secara nyata kepada segala pihak yang terkait. Syukur bahwa pengungkapan demikian pada tanggal 19 Agustus di Kota Jayapura, yang saya sempat saksikan, berjalan dengan baik dan damai. Sementara diharapkan bahwa para pelaku, organisasi maupun pribadi orang, aksi kebencian rasis itu di Jawa Timur ditangkap dan diadili semestinya.

Sementara kami sudah empat minggu lebih jauh, dan kelihatan penyelesaian masalah yang muncul di Jawa Timur makin dipusatkan di Papua, di mana sebenarnya masyarakat Papua menjadi korban kejadian rasisme. Sedangkan proses penyelesaian di Jawa Timur sangat minimal dan mengecewakan para korban di Papua. Sudah ada 90-an lebih tersangka di Papua, dan kemungkinan besar – sejauh saya mengikuti pernyataan-pernyataan Kapolri – jumlah ini akan naik saja.

Masalah rasisme ternyata masih hidup dan tumbuh subur di Indonesia dan tidak ditanggapi dengan gerakan-gerakan konstruktif untuk mengatasinya. Misalnya suatu program untuk saling menginformasikan dalam pertemuan-pertemuan antar orang Papua dan non-Papua. Termasuk di Papua sendiri tidak ada tindakan untuk mempertemukan para pendatang dengan komunitas asli Papua supaya lebih memahami latar belakang budaya tuan rumah di Papua, termasuk juga dasar aspirasinya untuk diakui sebagai manusia se-hak dan semartabat dengan yang lain. Keyakinan saya, program semacam ini – dan pasti dapat memikirkan banyak program lain yang menunjang – akan lebih banyak membantu menciptakan damai di Papua (dan di Indonesia) dari pada penambahan ribuan pasukan dan mengkriminalisasikan organisasi-organisasi dan/atau pribadi orang tertentu.

Mengapa program-program yang konstruktif seperti itu belum bisa muncul? Malahan kesannya bahwa seluruh ‘pemerintahan sipil’ di Tanah Papua diparkirkan atau menjadi penonton, sedangkan Kapolri dan Panglima berkantor di Jayapura. Komunikasi yang wajar, termasuk pengungkapan kemarahan serta kekecewaan yang wajar ditiadakan dan kebenaran segala berita ditetapkan sepihak saja. Saya yakin bahwa menghilangkan segala ‘berita palsu’ hanya dapat dicapai kalau seluruh masyarakat dibantu menjadi kritis, dididik baik, sehingga dapat menilai bobot setiap berita. Menutup jalur komunikasi bukan jalan yang membantu, namun lebih bersifat provokatif saja.

Saya terus bertanya-tanya ketika melihat perkembangan akhir-akhir ini. Kita mau kemana dengan 6.000 pasukan tambahan itu, sedangkan kehadiran personel militer dan polisi dalam jumlah besar sudah lama menonjol di Papua. Saya mengharapkan suatu pendekatan serta gerakan ‘pergaulan sejati dan semartabat suku-bangsa satu dengan yang lain’ menuju suasana Papua Tanah Damai, bukan suatu tekanan repressif.

Apalagi ada satu pertanyaan yang sudah berminggu lebih menghantui saya, yakni: dimana pihak keamanan sewaktu demonstrasi massa tanggal 29 Agustus 2019 di Kota Jayapura? Padahal demonstrasi sejenis yang dijalankan pada 19 Agustus berjalan sangat baik dan damai karena dikawal pihak keamanan bersamaan dengan para koordinator lapangan pihak penyelenggara. Mengapa pengawalan ini tidak diadakan tanggal 29 Agustus? Apalagi setelah gedung MRP dibakar di Kota Raja dan massa masih perlu berjalan sejumlah kilometer menuju Kantor Gubernur Papua, di Kota Jayapura, mengapa tidak diadakan pengamanan yang lebih nyata di tempat yang mau dilalui? Mengherankan juga bahwa beberapa tempat pengrusakan hebat letaknya di ambang pintu suatu kompleks militer seperti Angkatan Laut di Hamadi dan kompleks militer di pelabuhan Jayapura. Dimana semua prajurit pada saat itu? Mengapa mereka tidak bertindak untuk menghindari kegiatan anarchis yang kita sama-sama tidak inginkan? Pertanyaan ini masih sangat mengganggu saya.

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *