Hari HAM: BEM STFT Fajar Timur Bergumul tentang Alam dan Manusia Papua

Dalam rangka memperingati hari HAM sedunia pada tangal 10 Desember 2019, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STFT “Fajar Timur” bekerja sama dengan Sekertariat Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua, dan Komunitas Film Papuan Voices mengadakan nonton dan diskusi bersama film dokumenter tentang Papua. Film-film yang diputar adalah persoalan lingkungan dan HAM di Tanah Papua. Kegiatan ini dilaksanakan di Aula Santo Yoseph, Kampus STFT “Fajar Timur”, Abepura-Jayapura. Para peserta yang hadir adalah para mahasiswa dari STFT “ Fajar Timur” dan juga beberapa mahasiswa dan mahasiswi dari kampus-kampus yang ada di sekitar Kota Jayapura. Menurut ketua BEM STFT “Fajar Timur”, Aris Yeimo, kegiatan nonton dan diskusi ini merupakan kegiatan untuk melawan lupa dan bergumul bersama tentang persoalan lingkungan dan HAM di Tanah Papua.

“Kegiatan ini dilaksanakan untuk merawat ingatan tentang pelanggaran HAM yang masih terjadi hingga saat ini. Kita semakin disadarkan bahwa inilah situasi yang terjadi ditengah-tengah kita, banyak pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan oleh negara. Kita harus membangun kesadaran semua Pihak atau paling tidak kita yang hadir di ruangan ini sadar bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi dan masih akan terjadi sehingga bagaimana kita mengantisipasinya ke depan? Bagaimana nantinya kita yang adalah ‘jebolan’ dari Kampus ini bergerak sebagai pelayan masa depan Gereja Papua”, ungkap Aris ketika membuka kegiatan tersebut.

Selain itu Stillman Renggi dan Pater Eddy Doga, OFM mewakili tim SKPKC menandaskan bahwa kegiatan ini adalah bentuk keprihatinan semua orang yang mencintai Papua.

“Kita menonton film ini dan berdiskusi bersama untuk melihat bahwa film yang diangkat ini merupakan salah satu kasus dari sekian banyak kasus yang terjadi di tanah ini. Untuk menyelesaikan persoalan HAM yang tidak pernah kunjung selesai ini diperlukan kerja sama semua pihak. Manusia sebagai citra Allah memiliki hak dasar yang wajib dihargai semua manusia oleh sebab itu ketika manusia itu sendiri saling membunuh maka kita sebenarnya merusak citra Allah, kita merusak wajah Gereja itu sendiri. Gereja di sini jelas bahwa bukan persoalan bangunannya tetapi Gereja adalah manusia-manusia yang berhimpun yang percaya kepada Allah. Membunuh sama dengan merusak citra Gereja”, jelas Pater Edi Doga dalam sambutannya.

Jalannnya kegiatan ini diawali dengan menonton film “The Auyu”. Film dokumenter yang mengisahkan tentang masyarakat adat Auyu di Boven Digoel yang kehilangan hak ulayatnya. Hutan, tanah dan alam mereka dieksploitasi habis-habisan oleh perusahan kelapa sawit. Akibatnya terjadi konflik sosial diantara suku itu sendiri. Banyak marga yang sudah tidak saling menghargai satu sama lain. Perusahan mengantongi ijin masyarakat adat dengan pemaksaan, dibawah tekanan dari pihak TNI dan POLRI. Perusahaan lalu menjanjikan akan membangun rumah sehat, air bersih dan membangun kampung tetapi kemudian janji hanyalah tinggal janji. Masyakarat semakin menderita. Tempat mereka berburu dan mencari makan sudah dijadikan lahan sawit sehingga mereka harus pergi mencari di tempat yang sangat jauh dari pemukiman mereka.

Film kedua mengisahkan tentang peristiwa Konflik Nduga, Papua. Konflik bersenjata yang dilakukan oleh TPN PB dan TNI/POLRI mengakibatkan banyak masyarakat yang lari ke hutan. Sangat miris karena yang menjadi korban adalah anak-anak dan perempuan. Mereka sangat ketakutan ketika mendengarkan bunyi tembakan dan berhari-hari bahkan berbulan-bulan berada di hutan untuk mengungsi. Selain itu banyak anak-anak yang mengungsi ke Wamena tidak mendapatkan jaminan pendidikan dan kesehatan serta makanan yang layak. Oleh sebab itu di bawah peran Yayasan Teratai Hati Papua (YTHP), sekolah darurat dibangun. Dalam proses perjalanan beberapa pihak yang turut membantu kesedihan dan kedukaan warga Nduga tersebut.

Setelah menonton film, peserta diajak untuk diskusi bersama dan menanggapi film yang ada. Tidak hanya itu para peserta yang hadir juga diajak melihat kompleksitas masalah HAM secara keseluruhan di tanah Papua. Semua sangat peduli dengan situasi HAM di Papua. Diskusi berlangsung dengan lancar.

Pater Melki Mulait, Pr menanggapi film pertama dengan mengatakan bahwa “memang sangat miris tindakkan negara ini, ada oknum-oknum koorporasi dan elit negara yang bermain.

“Kalau kita lihat laporan ELSHAM Papua, tanpa kita sadari Papua ini sudah dikapling-kapling oleh para investor, para penguasa dan pengusaha, seolah-olah ini tanah milik mereka tanpa mempedulikan manusia asli Papua sebagai pemilik hak ulayat. Hal ini sangat memalukan dan tidak masuk akal bagi kita”, jelas Pastor Melki ketika memberikan tanggapannya.

Lebih lanjut Pastor Melki mengajak kepada para mahasiswa yang hadir untuk lihat bersama persoalan-persoalan tersebut, merefleksikannya berdasarkan dengan kapasitas dan posisi masing-masing serta bersuara dan berpihak pada tanah Papua.

“Kita perlu membangkitkan kembali daya kritis kita sehingga ungkapan dan ajaran kita jangan sampai kecolongan melegitimasi apa yang sedang negara dan antek-anteknya lancarkan demi kepentingan mereka”, tutur Pastor Melki dalam lanjutan penjelasannya.

Peserta lainnya, Frater Yohanes Kayame, Pr, menanggapi dengan mengatakan bahwa film ini memperlihatkan eksistensi orang Papua yang semakin terancam di atas tanahnya. Pemerintah saat ini tidak pernah memikirkan masa depan orang Papua. Hal senada juga disampaikan oleh Frater Riki Yatipai, Pr.

“Bahwa kita yang adalah calon pelayan Gereja harus memiliki rasa solider yang tinggi, kita harus mampu merefleksikan persoalan Papua secara mendalam dan menyeluruh sehingga tindakkan kita bisa membuahkan hasil. Saya sepakat dengan pernyataan Almahrum Agus Alua yang mengatakan bahwa orang Papua bagaikan bangkai di atas tanahnya sendiri. Hal ini supaya kita sadari bersama bahwa orang Papua tidak memiliki masa depan”, ungkap Frater Riki ketika memberikan tanggapannya.

Bagi mahasiswa STFT Fajar Timur, situasi di Tanah Papua selalu menjadi debat panas di ruang kelas. Dalam mata kuliah perubahan sosial, persoalan Papua selalu menjadi pembahasan yang menarik dan kelanjutan dari mata kuliah ini pernah dibuat seminar bersama juga selain itu para mahasiswa gencar menulis di berbagai media lokal sebagai bentuk keberpihakkan pada manusia Papua.

Diakhir diskusi para pastor yang hadir memberikan penegasan petugas gereja dan umat katolik harus berani bersuara. Harus memiliki rasa dan daya kritis terhadap situasi yang sedang kita alami, terlebih keberpihakkan pada manusia Papua. Kita harus berani menyuarakan ketidakadilan yang sedang terjadi di atas tanah ini. Perlu diingat bersama bahwa para penguasa dan elit negara sering masuk melalui pendekatan Gereja dan ini harus disadari bersama oleh semua pihak.

Menutup akhir diskusi ini, Pater Agus Alua, Pr, mengajak ketika bertugas di lapangan, diharapkan para petugas gereja memberikan laporan atau bersuara dengan fakta yang benar dan akurat.

“Ketika kita di lapangan, kita harus hati-hati dalam memberikan laporan. Sebaiknya kita tulis kronologi kejadian dan melaporkannya secara akurat kepada pimpinan kita (uskup) dan melanjutkannya kepada mereka yang bisa membantu kita”, ungkap Pater Agus.

Akhir dari seluruh rangkaian kegiatan ini Tim SKPKC bersama BEM STFT “Fajar Timur” dan para peserta yang hadir melakukan aksi diam dan doa bersama yang dipimpin Pater Agus Alua sebagai bentuk keprihatinan juga merawat ingatan akan korban-korban pelanggaran HAM di seluruh tanah Papua.

Selamat Hari HAM sedunia.

Fransiskus Batlayeri, Pr

 

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *