Papua: Surga Yang Terlantar

Oleh: John NR Gobai 

Pengantar

Bulan Desember tiap tahun di Tanah Papua selalu ada kontak senjata antara Polri-TNI dengan TPN PB atau sering kali disebut dengan nama OPM. Beberapa peristiwa yang sempat terekam oleh penulis, antara lain: tahun 2011 dengan sebutan Operasi Tumpas Matoa di Paniai, tahun 2014 Penembakan 4 siswa di Paniai, tahun 2018 di Nduga, tahun 2019 di Intan Jaya. Di Tahun 2019 ‘operasi militer’ ini disebut dengan tugas penegakan hukum melalui Satgas Penegakan Hukum, (diduga terkait penembakan oleh aparat tak dikenal beberapa bulan lalu) namun kemudian berkembang untuk menjaga serangan terhadap Freeport. Pihak aparat keamanan diduga mendengar informasi akan ada penyerangan terhadap Freeport. Situasi ini menjadikan Desember adalah bulan kelabu bagi sebagian daerah di Tanah Papua.

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat/OPM dan Aparat Keamanan

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) atau OPM adalah organisasi yang isinya adalah manusia biasa yang juga adalah Citra Allah. Secitra berarti segambar dan serupa dengan Allah atau manusia yang punya akal, rasa dan kehendak. Kalau mau jujur, saya tahu bahwa pernah Oknum Pimpinan aparat bertemu Pimpinan TPN OPM satu wilayah dan bicara baik dan sambil tertawa. Dalam sebuah media masa di Jayapura pernah juga dimuat berita ketika Kepala BIN Sutiyoso melalui HP Bupati Puncak Jaya, Henock ibo menelpon salah-satu Pimpinan OPM. Dalam acara di Metro TV pada beberapa tahun yang lalu saat menjadi Kapolda Papua, Irjen Pol Dody Sumantiawan, mengatakan dia mengetahui keberadaan OPM di Paniai namun tidak akan mengganggu mereka selama mereka tenang tenang saja. Aparat Koramil dan Polsek yang ada di daerah daerah konflik tentu juga tahu keberadaan dan lokasi TPN PB/OPM namun membiarkannya karena ada komunikasi yang baik demi menjaga keamanan daerah.

Ada juga pengalaman lain komunikasi antara OPM dan TNI Polri yang pasti diketahui oleh pihak lain. Pengalaman ini, menunjukkan TPN/OPM bisa diajak bertemu dan berbicara. Mereka (TPN PB/OPM) bukan binatang buas yang sulit diajak bicara dengan bahasa manusia. Pihak TPN PB/OPM paling tidak suka dipantau atau diintai dengan pengintainya berlabel tukang ojek, buruh pembangunan jalan, mereka tidak suka aktivitas mereka didokumentasikan oleh pihak lain yang tidak mereka kenal atau bukan bagian dari mereka. Mereka (TPN PB/OPM) ingin dihargai sebagai manusia karena mereka juga bisa menghargai manusia lain.

Pendekatan pengerahan pasukan non organik yang tidak memahami kondisi dan kebiasaan seperti yang dilakukan oleh Polsek dan Koramil mungkin juga Polres dan Kodim selama ini, tidak akan menyelesaikan masalah namun hanya akan mempertahankan siklus kekerasan di Tanah Papua dan tidak menutup kemungkinan aparat keamanan dan masyarakat sipil akan menjadi korban kontak senjata, sehingga dapat berujung pada masalah pelanggaran HAM.

Ubah Pola

Menurut Prof. Paul Ekman, seorang dosen psikologi yang meneliti selama 15 tahun di Papua, dia mengatakan “Papua adalah manusia terjujur terakhir yang disisakan dimuka bumi ini” maka semua yang dilakukan haruslah dilihat sebagai bentuk kejujuran orang Papua. Pemerintah dan aparat harus dapat merubah pendekatan operasi militer atau operasi penegakan hukum dengan Pendekatan senyum dengan penuh ketulusan tanpa membawa senjata dan show kekuatan militer di tengah-tengah masyarakat. Selain itu pembangunan yang melibatkan orang Papua dalam arti luas akan membawa perubahan.

Di bidang ekonomi, saudara-saudara non Papua stop masuk ke kampung-kampung menguasai perekonomian, biar lapangan usaha pedagang, kontaraktor dan pengojek serta sopir di kampung-kampung dilakukan oleh anak daerah setempat. Di sisi HAM, Pemerintah Pusat harus segera melakukan penyelesaian permasalahan pelanggaran HAM masa lalu serta masa kini serta penyelesaian distorsi sejarah merupakan jalan yang harus dilakukan di Papua melalui Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), ini akan menyelesaikan konflik politik antara Masyarakat Papua dan Pemerintah.

Usulan Mantan Kepala BIN: Hendropriyono

Peningkatan status TPN PB/OPM seperti yang disebutkan oleh Hendropriyono, menurut saya, pertama adalah untuk mencari simpati dan dukungan internasional, kedua, beliau hanya ingin menciptakan konflik antara negara dan masyarakat Papua. Namun di sisi lain yang harus dipikirkan oleh pemerintah adalah hanya akan merusak citra Negara Indonesia, karena hanya akan menciptakan zona perang di Papua (TPN PB/OPM vs TNI-POLRI). Aparat di lapangan yang pangkat Tantama dan Bintara, sementara bos-bosnya seperti Pak Hendropriyono, tidur dan makan enak. Sementara bawahannya dapat saja menjadi korban, dan akan membuat masyarakat sipil mengungsi dan trauma berkepanjangan. Apakah konflik ini memang sengaja dipelihara karena ingin menguasai sumber daya alam Papua dengan bertameng slogan NKRI harga mati? Usulan Pak Hendropriyono harus dipertimbangkan baik-baik, karena operasi militer bukan solusi di Papua.

Penutup

Kita semua berduka akan adanya korban jiwa baik aparat keamanan (TNI Polri) maupun masyarakat. Kita semua tentu mengetahui kedamaian di Tanah Papua, telah terganggu oleh karena adanya kontak senjata, untuk itu akan lebih baik agar pasukan non organik yang ada ditarik dan Pemerintah Daerah diberi tanggung jawab menjamin dan mengendalikan keamanan di Papua dengan membentuk Tim Penanganan konflik sesuai UU No 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

Dalam menggunakan kewenangan absollut di bidang pertahanan dan keamanan Pemerintah Pusat sebaiknya terlebih dahulu dikoordinasikan dengan Pemerintah Daerah dan Tim Penanganan konflik bukan dengan langsung melakukan pengerahan pasukan non organik. Kepada Aparat Tak Dikenal (ATK) agar berhenti memprovokasi masyarakat di Papua dengan isu-isu yang mengadu domba masyarakat. Contoh: Kasus Jayapura, Expo (Kasus Tolak Rasisme), dll. Kepada Freeport agar tidak lagi membuat kerjasama dengan TNI-Polri untuk menjaga perusahaan akan lebih baik mengefektifkan security Freeport dan lebih baik lagi anak-anak daerah dilibatkan menjaga Freeport. Jangan lagi kita menambah daftar korban nyawa manusia baik dari aparat keamanan dan masyarakat sipil di kampung-kampung. Masyarakat harus mengungsi karena takut kontak senjata dan operasi atau pendropan pasukan militer. Masyarakat terus menjadi trauma dan kehilangan sumber penghidupan mereka. Papua menjadi surga terlantar karena konflik penguasaan sumber daya alam dan kerakusan pihak-pihak tertentu.

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *