“Catatan Refleksi Pasca Penetapan Kasus Paniai sebagai Kasus Pelanggaran HAM Berat”
Oleh: John NR Gobai
Pengadilan HAM di Papua
Undang-Undang Otsus telah mengamanatkan pembentukan Pengadilan HAM di Papua. Namun sampai saat ini belum ada dan terlaksana. Pada tahun 2020, telah ada tiga kasus pelanggaran HAM berat di Papua yaitu Kasus Wamena, Wasior dan Paniai, yang harus diselesaikan oleh Pemerintah atau Negara Indonesia.
Keberadaan pengadilan HAM di Papua itu dinilai penting agar masyarakat luas dan publik Papua bisa mengikuti proses peradilan terhadap kasus yang terjadi, khususnya terjadi di Paniai, 8 Desember 2014. Karena mengikuti proses langsung itu bagian dari memberi kepuasan bagi keluarga korban. Masyarakat harus terlibat melihat langsung proses peradilan dengan mata kepala sendiri. Selain itu jika pengadilan HAM dibuka di Papua memudahkan banyak saksi bisa dihadirkan tanpa mengeluarkan banyak biaya.
Mekanisme pembentukan Pengadilan HAM di Papua bisa bersatu dengan pengadilan negeri Jayapura. Apa lagi hal itu sudah dilakukan dengan membentuk pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) di Pengadilan Negeri Jayapura.
Penetapan kasus Paniai 2014 sebagai kasus pelanggaran HAM berat telah menambah jumlah kasus yang sama di Papua yang sudah ditetapkan Komnas HAM sebelumnya. Dua kasusnya sebelumnya mengendap di Kerjaksaan Agung yakni kasus pelanggaran HAM berat Wasior dan Wamena.
Analisa Regulasi
Sejak ditetapkannya UU Otonomi Khusus Papua, Pemerintah belum membentuk Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sesuai Pasal 45 Ayat 2 UU No 21 Tahun 2001. Hal ini juga terjadi karena dalam UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM belum diatur tentang Pembentukan Pengadilan HAM, padahal salah satu tempatnya harus di Papua sesuai dengan UU No 21 Tahun 2001, tetapi dengan berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 45 Ayat 1, UU No 26 Tahun 2000, frasa “untuk pertama kali” menunjukan bahwa pembentukan Pengadilan HAM bukan bersifat statis tetapi fleksibel sehingga dengan adanya UU yang dibentuk kemudian seperti UU No 21 Tahun 2001 maka harusnya dengan Kepres dapat dibentuk Pengadilan HAM ditempat yang lain dalam hal ini di Jayapura untuk Provinsi Papua.
Pemerintah Pusat sesuai dengan kewenangannya mesti mengeluarkan Perpres Pembentukan Pengadilan HAM di Papua. Dalam rangka itu kami berharap DPR RI dan DPD RI dapat juga mendorong dan mendesak pembentukan Pengadilan HAM di Papua.