Membincangkan Papua tidak pernah luput dari kompleksitas persoalan yang melilitnya. Kompleksitas itu meliputi persoalan politik, pendidikan, kesehatan, lingkungan, diskriminasi, militerisme dan berbagai ketimpangan sosial lainnya. Apapun bentuknya, persoalan Papua selalu berujung pada pengabaian atas hak-hak hidup masyarakat adat Papua. Perjuangan untuk mendapatkan kebenaran, keadilan, perdamaian dan bahkan kebebasan berekspresi di atas Tanah Papua selalu menyisakan tragedi yang berkepanjangan. Ruang demokrasi dibungkam, praktik-praktik represif terus dilanggengkan, dan manusia Papua beserta alamnya selalu menjadi ladang perebutan kekuasaan maupun pencarian prestise. Singkatnya, Papua hari ini sedang tidak baik-baik saja. Papua darutat kemanusiaan.
Kehadiran buku Papua Bukan Tanah Kosong adalah wujud nyata kepedulian sekaligus panggilan moral di tengah situasi ketidakadilan yang terjadi di Tanah Papua. Lahir sebagai bentuk lain dari laporan investigasi yang secara konsisten menarasikan beragam peristiwa dan fakta Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua, buku Seri Memoria Passionis No. 37 yang diterbitkan SKPKC FP ini mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Sejak buku tersebut launching di Kampus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur, Jayapura-Papua pada 25 Oktober 2019, antusiasme dan apresiasi terus mengalir dari berbagai pemerhati isu-isu tentang Papua. Pada 15 November 2019, Tempo Institute mengadakan diskusi buku Papua Bukan Tanah Kosong bersama Tim SKPKC FP di Gedung Tempo, Jakarta.
Tak hanya sampai di situ. Pada 28 Februari 2020, diskusi yang sama kembali digelar oleh Pusat Kajian Demokrasi dan Hak-Hak Asasi Manusia (PUSDEMA) Universitas Sanata Dharma di Ruang Merbabu, Kampus 2 Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Diskusi ini berlangsung secara tertutup dan terbatas karena alasan keamanan.
“Dua hari sebelum diskusi ini dilaksanakan, ada 4 (empat) anggota Polisi dari Polres Sleman datang ke kampus untuk menyanyakan maksud dan tujuan dari diskusi serta siapa saja yang akan terlibat di dalam acara tersebut. Dengan alasan keamanan dan ketertiban, mereka meminta pihak PUSDEMA untuk mengadakan diskusi secara tertutup dengan jumlah pesertanya dibatasi hanya untuk 25 mahasiswa Universitas Sanata Dharma”, kata Hardi, salah satu narasumber yang turut hadir dalam pertemuan bersama para Politisi tersebut.
Meskipun demikian, acara diskusi berjalan lancar dan penuh antusiasme dari para peserta yang hadir.
Dr. Baskara T. Wardaya, SJ selaku Kepala PUSDEMA yang membuka acara diskusi, memberi apresiasi dan menyambut kehadiran Papua Bukan Tanah Kosong dengan senang hati. Menurut Baskara, selain menambah informasi dan pengetahuan yang utuh tentang Papua, acara semacam ini juga menjadi bagian dari upaya untuk mencintai dan menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Hadir sebagai narasumber dari Tim SKPKC FP, Bernard Koten dan Nelius Wenda memaparkan berbagai temuan fakta yang tertuang di dalam buku serial Memoria Passionis sejak 2016-2019 beserta kendala-kendala yang dihadapi di lapangan ketika rakyat Papua memperjuangkan hak-hak hidup di atas tanah warisan leluhurnya. Dalam penyajian materinya, Koten menegaskan bahwa dasar dari Memoria Passionis (MP) adalah kebutuhan sekaligus tanggung jawab moral SKPKC FP untuk melakukan dokumentasi persoalan HAM di Papua.
Dengan berpedoman pada hasil investigasi dan laporan tim maupun mitra kerja serta beberapa informasi dari media massa yang terverifikasi, MP hadir dengan memberi sejumlah catatan analisa dan refleksi serta tawaran solusi atas berbagai persoalan yang terjadi di Papua. MP adalah bagian dari upaya untuk menyuguhkan sisi gelap Papua secara benar dan berimbang di tengah dominasi narasi-narasi lain tentang Papua yang kadang kala menafikan fakta yang sesungguhnya. Dalam seri MP No. 37, SKPKC FP membidik beberapa fakta dan peristiwa selama tahun 2018, yakni Kejadian Luar Biasa di Asmat yang menjadi perhatian media massa di awal tahun 2018, kemudian disusul dengan pelarangan berpendapat di muka umum, konflik Nduga, potret militerisasi di Wuluwaga, penghancuran hutan Papua, isu radikalisme agama, serta polemik penyelesaian pelanggaran HAM di Papua.
Melengkapi data-data yang disampaikan oleh Koten, Wenda yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua (GEMPAR) menuturkan bahwa Papua saat ini telah menjadi pusat investasi para pemilik modal. Alam Papua yang terus dikuras menyebabkan manusia merasa takut akan kehilangan hutan sebagai sumber kehiduannya; bahkan burung yang terbang pun nyaris tak menemukan ranting maupun dahan pohon untuk dihinggapi. Selain itu, praktik-praktik represif dari aparat keamanan pun terus dilanggengkan.
“Di Papua, ruang demokrasi terus dibungkam, tetapi seruan mencari keadilan terus dilantunkan tanpa henti sebagai bagian dari upaya mencari keadilan dan perdamaian untuk bangsa Papua”, tegas Wenda.
Hadir sebagai pembicara dari JPIC OFM Indonesia, Pastor Alsis Goa, OFM juga menunjukkan bahwa saat ini wilayah-wilayah yang punya potensi kekayaan alam yang besar telah dipetakan dalam bentuk angka yang memudahkan para pemantau untuk mengeksploitasi kekayaan yang ada. Hal ini tentu saja berdampak pada eskalasi pengerusakan keutuhan ciptaan. Membenarkan pernyataan tersebut, Stafanus Mahuze (Mahasiswa Magister Teologi, Universitas Sanata Dharma) dalam refleksi teologisnya tentang Tanah Adalah Rahim Perempuan Papua, menyampaikan kegelisahannya terhadap perempuan-perempuan Papua yang terus meratap dan menangis dengan pilunya di tengah medan konflik.
“Perempuan-perempuan Papua adalah kaum yang paling menderita. Selain harus menjalani masa-masa sulit saat bersalin dan melahirkan anak, mereka juga harus menanggung berbagai jenis penderitaan yang lahir dari proyek investasi maupun konflik bersenjata, di mana alam sebagai rahimnya maupun anak sebagai buah kandungannya selalu diadu-domba, diperalat, dan dijadikan objek pemberangusan oleh oknum-oknum yang rakus dan serakah”, kata Mahuze dengan lantang.
Menutup sesi pemaparan materi dari para narasumber, Hardy Basabelolon (Mahasiswa Magister Kajian Budaya, Universitas Sanata Dharma) menilik beberapa hubungan sebab-akibat dari kompleksitas Persoalan yang melanda rakyat Papua. Menurut Basabelolon, kategorisasi terhadap Papua sebagai ‘yang lain’ dari yang lain; atau wilayah yang belum maju dan mutlak perlu untuk diberadabkan dan ditertibkan adalah suatu bentuk ketimpangan nalar dalam melihat Papua. Cacat nalar seperti tentu saja berakibat pada formasi pembangunan yang tidak tepat sasaran, cenderung represif dan eksploitaitf serta berujung pada pengabaian atas hak-hak hidup masyarakat adat Papua.
Aprila Wayar, jurnalis dan novelis asal Papua yang juga turut hadir dalam forum diskusi tersebut menambahkan dua hal yang tidak kalah pentingnya, yakni: pertama, dari sudut pandang jurnalis, Wayar menegaskan bahwa media-media massa tertentu yang ada di Jakarta secara sengaja menciptakan framing pemberitaan yang menyesatkan mind-set dan opini publik tentang Papua. Menurut Wayar, hal ini telah berlangsung selama puluhan tahun tanpa disadari dan ditanggapi secara kritis. Kedua, dari sudut pandang sastra, ia berkisah tentang proses dan pola penindasan yang digambarkan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetraloginya yang sama persis dengan apa yang dilakukan Indonesia terhadap bangsa Papua hari ini. Baginya, Papua saat ini sulit melalukan gebrakan secara massif karena selalu berada di bawah tekanan. Karena itu, Papua butuh para pegiat kemanusiaan yang secara konsisten mendapingi mereka dalam menyuarakan kebenaran, keadilan, perdamaian dan keselamatan yang berpihak pada masa depan alam dan manusia Papua.
Dilaporkan dari Yogyakarta oleh Hardi Basabelolon