Catatan hari ketiga Training Human Rights di Genewa, Swiss, 16 September 2020
Oleh Pater Alexsandro Rangga, OFM
To Know
Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) mempunyai kekuatan untuk menekan negara-negara anggota melalui resolusi. Itulah sebabnya pada hari pertama kita diingatkan akan pentingnya link ke PBB. Tanpa link ke PBB, isu-isu HAM akan tenggelam dan terlupakan di lemari arsip. NGO sebenarnya “menggunakan” PBB untuk menciptakan mekanisme promosi HAM. Usaha untuk ini amatlah sulit karena selain struktur dan proses yang rumit, juga terdapat banyak kepentingan yang berkelindan di PBB. Akan tetapi hal ini dimungkinkan oleh mekanisme Special Procedures atau prosedur khusus Dewan HAM PBB melalui Para pemegang mandat Prosedur Khusus Dewan Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari special rapporteurs, independent experts atau working groups yang terdiri dari lima anggota ahli yang ditunjuk oleh Dewan dan bertugas dalam kapasitas pribadi mereka. Special procedures melakukan kunjungan negara; bertindak atas kasus dan masalah individu yang bersifat struktural dan lebih luas dengan mengirimkan komunikasi ke Negara dan aktor lain yang melaporkan dugaan pelanggaran atau pelanggaran kepada mereka; melakukan studi tematik dan mengadakan konsultasi ahli; berkontribusi pada pengembangan standar hak asasi manusia internasional; terlibat dalam advokasi; meningkatkan kesadaran publik; dan memberikan saran untuk kerjasama teknis.
Selain sepintas tentang Special procedures, tema hari ini berbicara tentang “Introduction to Transitional Justice” atau Keadilan Transisi. Transitional Justice dapat didefenisikan sebagai “serangkaian proses dan mekanisme yang terkait dengan upaya masyarakat untuk menerima warisan pelanggaran masa lalu berskala besar, untuk memastikan akuntabilitas, melayani keadilan dan mencapai rekonsiliasi. Pekerjaan PBB tentang keadilan transisi didasarkan pada Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, Hukum Humaniter Internasional, Hukum Pidana Internasional dan Hukum Pengungsi Internasional. Prinsip umum utamanya ialah penekanan pada kewajiban negara atas pelanggaran HAM berat, hak atas kebenaran, tentang pelanggaran masa lalu, hak atas reparasi, dan jaminan tidak akan berulang (assurance of non-repetition). Transitional Justice juga merupakan tanggapan terhadap pelanggaran HAM yang sistematis atau meluas dengan mencari pengakuan bagi para korban dan mempromosikan kemungkinan perdamaian, rekonsiliasi dan demokrasi.
Pada sore hari, kami mengikuti Sidang Dewan HAM PBB yang membahasa tentang Hak atas Sanitasi dan Air bersih
To Understand
Transitional Justice membantu kita memahami bahwa salah satu penyebab pembangunan ditolak di Papua, dan baru-baru ini marak penolakan terhadap Otsus Jilid II ialah belum adanya penyelesaian pelanggaran HAM berat di Papua dan usaha rekonsiliasi atasnya. Bangsa yang terluka akan sulit diajak bekerja sama. Ada banyak Kasus pelanggaran HAM di Papua seperti Wamena Berdarah (4 April 2003), Biak (6 Juli 1998), Abepura (7 Desember 2000), dan yang paling mutakhir ialah kasus Nduga yang belum dituntaskan. Padahal Presiden Jokowi pernah berjanji di hadapan orang Papua pada 26 Desember 2014 untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di Papua, khususnya Kasus Paniai Berdarah (8 Desember 2014). Berkaitan dengan hal ini, Adrien Zoller mengatakan bahwa masalah terbesar Presiden Jokowi ialah sulitnya melepaskan diri dari lingkaran militer, yang notabene juga mempunyai hubungan bahkan terlibat dalam pelanggaran HAM berat di Papua. Presiden Jokowi harus berani menegakkan kebenaran. Hak Asasi Manusia perlu dihormati dan dijamin. Ini tidak berarti bahwa semua pelanggar HAM harus dijebloskan ke penjara, tetapi demi rekonsiliasi masa lalu dan menata masa depan di Papua dengan jaminan tidak akan berulang.
To Act
Tindakan apa yang bisa dilakukan oleh orang Papua? Memanfaatkan tools yang mendukung usaha penegakan Hak Asasi Manusia. Ada banyak tools, salah satunya ialah Special rapporteur. Ini tindakan yang sangat demokratis dan diatur dalam hukum international. Akan tetapi perlu diingat pula bahwa setiap orang yang loyal, kompeten dan efektif terhadap penegakan Hak Asasi Manusia biasanya dihilangkan demi kepentingan dan kedaulatan Negara.