(Catatan hari ke 7-9 Training Human Rights di Jenewa, Swiss, 22-24 September 2020)
Oleh P. Alexandro Rangga, OFM
To Know
Tema yang dibicarakan selama tiga hari berkaitan dengan International conflict yang berkaitan dengan Humanitarian Law dan Internal conflict yang berkaitan dengan Criminal Law. Akan tetapi poin paling penting berkaitan dengan human dignity (harkat dan martabat manusia). Apapun perdebatannya tentang Hak Asasi Manusia, titik berangkatnya selalu sama yakni penghargaaan terhadap manusia sebagai manusia.
Tingkat penghargaan terhadap manusia seringkali mengabaikan mereka yang minoritas, dalam hal ini Indigeneous People. Misalnya, hak Indigeneous People di Kolombia yang mempunyai hak atas tanah, yang berelasi erat dengan para leluhur, dilanggar karena pemerintah mempunyai interest ekonomi berkaitan dengan minyak bumi.
Hal yang sama terjadi di Papua. Bahkan pemerintah sampai tidak mengakui adanya hak Indigeneous People karena menurut pemerintah Indonesia, semua suku di Indonesia ialah Indigeneous People. Sampai saat ini, Pemerintah Indonesia menolak konsep PBB tentang Indigenous People. Pertanyaannya kemudian ialah apakah relasi antara suku Jawa dan Papua atau Flores? Adrien Zoller menyebutnya sebagai relasi neokolonialisme. “Dulu Papua dijajah oleh Belanda, sekarang Papua dijajah oleh Indonesia, mulai dari pemakaian bahasa Indonesia hingga struktur dan sistem pemerintahan Indonesianis tanpa peduli pada aspek kearifan lokal setempat.”
To Understand
“Inilah persoalan terbesar di Papua”, tegas Adrien Zoller. “Orang Papua tidak dihargai sebagai manusia terutama sejak Papua tberintegrasi dengan Indonesia. Proses Aact of Free Cchoice (Penentuan Pendapat Rakyat – Pepera) hingga rasisme di Surabaya adalah contoh berulangnya perlakuan terhadap orang Papua sebagai objek. Orang Papua dianggap bukan apa-apa. Yang penting ialah sumber daya alam Papua. Pembangunan di Papua, bukan pertama-tama demi orang Papua tetapi demi menaikkan posisi Indonesia di mata internasional sebagai negara maju (bukan lagi Negara berkembang). Itu sebabnya Amerika Serikat ataupun China bisa dengan mudah berinvestasi di Indonesia karena kepentingan ekonomi (dan politik). Indonesia diuntungkan karena dalam diplomasi dan lobi, negara selalu mempunyai hak jawab, yang seringkali di satu sisi menjadi kelemahan (ditekan oleh negara besar seperti China dan Amerika), di sisi lain menjadi kekuatan untuk terus menerapkan kebijakan yang kontra produktif, dalam konteks ini di Papua.”
“Freeport misalnya, merupakan diplomasi dan lobi politik (dan ekonomi) antara Amerika Serikat dan Indonesia,” lanjut Adrien. “Amerika Serikat kalah diplomasi dengan Soekarno maka dirancanglah kudeta terhadapnya lewat Soeharto. Soeharto menjadi Ppresiden dan Amerika bebas berinvestasi di Freeport. Maka advokasi di tingkat internasional juga berkaitan dengan Freeport supaya segera ditutup.”
To Act
Freeport dan semua pembangunan di Papua tidak murni bagi orang Papua. Menolak pembangunan adalah pilihan rasional yang dilakukan oleh orang Papua. Jika cara damai tidak digubris, cara keras akhirnya terjadi yang kemudian menjadi bola liar layaknya kasus pembangunan jalan trans di Nduga. Sekarang lagi ramai penolakan Otsus Jilid II. Masih dengan cara damai. Jika tidak digubris pasti ada cara kekerasan. Lalu akan menjadi bola liar dalam lingkaran setan antara orang Papua dan Pemerintah Indonesia. Persoalan berulang tanpa penyelesaian yang jelas.
Demi menghindari hal tersebut yang tentunya lebih banyak merugikan orang Papua, advokasi dan edukasi masyarakat akan haknya jelas lebih penting. Di zaman media digital seperti sekarang ini, advokasi dan edukasi dapat menjadi gerakan membangun kesadaran masyarakat akan harkat dan martabat sebagai manusia Papua. Setidaknya kita telah melihat efek yang besar dari gerakan ini tidak hanya di kalangan generasi muda Papua, tetapi juga generasi muda Indonesia di beberapa universitas yang menyadari bahwa ada yang salah dengan cara pemerintah Indonesia memperlakukan Papua.