Papua di Level Internasional: Membaca reaksi Diplomat Indonesia

(Catatan hari terakhir Training Human Rights di Jenewa, Swiss, 25 September 2020)

oleh P. Alexandro Rangga, OFM

To Know

Ada dua tema menarik pada hari terakhir ini. Pertama, sesi pagi masih diisi dengan pembahasan tentang International Law yang mengupas pula tentang right to self-determination. Kedua, sesi sore di gedung United Nations diwarnai oleh perdebatan panas antara diplomat Indonesia dan Vanuatu pada sesi tentang Indigeneous People dalam Sidang Dewan HAM PBB yang juga disertai video message dari SKPKC Fransiskan Papua (sebagai bagian dari Fransiscan International).

The right to self-determination merupakan “proses di mana sekelompok orang, biasanya memiliki tingkat kesadaran nasional tertentu, membentuk negara mereka sendiri dan memilih pemerintahan mereka sendiri.” Piagam PBB menjelaskannya dalam dua arti. Pertama, dalam arti negara memiliki hak untuk memilih secara bebas sistem politik, ekonomi, sosial, dan budayanya. Kedua, dalam arti hak suatu rakyat untuk membentuk dirinya sendiri di suatu negara atau sebaliknya secara bebas menentukan bentuk hubungannya dengan negara yang ada. Lebih lanjut, istilah the right to self-determination telah diartikan sebagai pilihan bebas atas tindakannya sendiri tanpa paksaan eksternal.

Dengan sedikit mengambarkan sejarah integrasi Papua ke Indonesia pada tahun 1962, Adrien-Claude Zoller menegaskan bahwa yang terjadi pada 1962 itu bukanlah penerapan the right to self-determination tetapi the Act of Nno Choice karena para pemilih dipilih sambil diancam dengan tondongan senjata.

Sementara itu, pada sesi sore, kita disajikan perdebatan sengit antara diplomat Indonesia dan diplomat Vanuatu. Pertanyaan sederhana yang muncul ialah mengapa diplomat Indonesia hanya menyerang diplomat Vanuatu? Padahal pesan yang disampaikan kurang lebih sama, baik dari Vanuatu maupun dari Fransiscan International.

To Understand

Pada level kerja kemanusiaan, sebagai pihak luar (Baik LSM maupun bukan orang Papua), fokusnya ialah advokasi dan animasi akan penghormatan dan penghargaan Hak Asasi Manusia oleh negara.

Sementara berkaitan dengan the right to self-determination, itu adalah urusan Pemerintah Indonesia dan Orang Papua. The right to sSelf determination ini bisa beragam bentuk seperti referendum atau kemerdekaan, federasi, perlindungan khusus, suatu bentuk otonomi khusus atau asimilasi penuh. Cara untuk mencapainya pun beragam. Cara Organisasi Papua Merdeka dengan perang, KNPB dengan referendum dan menolak setiap niat baik Pemerintah Indonesia, maupun dialog. Setiap pilihan selalu ada resiko. Perang, siap mati bodoh karena kalah jumlah kalah persenjataan. Referendum, siap bersabar karena jika Indonesia saja di bawah Belanda selama 350 tahun, apalagi Papua yang baru 58 tahun di bawah NKRI. Ini proses yang panjang. Dialog, siap buka pikiran dan satukan hati, agar cara boleh berbeda, misi tetap satu bukan sebaliknya saling memecah belah atau saling menuduh antara cara yang satu terhadap cara yang lain.

Reaksi diplomat Indonesia atas intervensi Vanuatu sebenarnya mengambarkan satu hal, bahwa isu Papua makin seksi di level international. Itu sebabnya Pemerintah Indonesia dalam hal ini lewat diplomatnya amat gelisah atas intervensi Vanuatu. Itu sebabnya makin banyak tentara dikirim ke Papua, selain dengan misi mengamankan aset-aset Sumber Daya Alam. Oleh karena itu, pemahaman akan isu Papua di level international, membantu di satu sisi usaha penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia Papua, di sisi lain, membuka peluang yang makin besar akan the right to self determination.

To Act

Pengetahuan dan pemahaman akan mekanisme di United Nations (PBB) pada umumnya dan isu Papua serta manuver Pemerintah Indonesia pada khususnya membantu kita untuk bertindak menyeluruh sebagai orang Papua. Dalam hal ini tindakan sebagai suatu bangsa dengan nasionalisme yang kuat sebagai orang Papua. Ini bisa menjadi people power sebagai dasar bagi penentuan nasib sendiri karena itu, sekali lagi, adalah hak segala bangsa. Hak yang diputuskan oleh orang Papua sendiri.

Maka tindakan paling penting saat ini ialah hentikan setiap pemikiran bahwa cara tertentu (OPM, ULMWP, KNPB, Dialog, dll) sebagai yang paling baik. Apalah artinya klaim cara tertentu yang lebih baik jika itu memecah belah orang Papua?  Nasibnya bisa seperti Bangsa Kanaki di Kaledonia Baru, yang kalah lagi dalam referendum kedua kalinya karena rakyatnya terpecah belah!!

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *