Kisah dan Refleksi Seorang Jurnalis
Oleh Markus Makur
SAYA merantau ke Papua 2003. Waktu itu saya terbang dari Bandara Hasanuddin Makassar menuju ke Bandara Moses Kilangin, Timika, Papua dengan maskapai Mandala Airline. Setiba di Timika, saya tinggal di rumah keluarga di Gang Kelimutu. Sebelumnya saya tak memiliki referensi tentang Papua. Saya nekat saja merantau karena mengikuti kakak saya yang sudah menjadi guru di Kabupaten Asmat. Selama kurang lebih sebulan tinggal di rumah keluarga,.saya belum mendapatkan pekerjaan. Lalu, saya inisiatif bertanya kepada saudara, barangkali ada proyek bangunan, biar saya menjadi tukang campur. Kemudian, beberapa hari berikutnya ada informasi ada butuh tenaga untuk kerja proyek rumah yang tak jauh dari tempat saya tinggal. Lalu saya memutuskan untuk bertanya. Kebetulan semua yang kerja disitu sama-sama dari tanah Flores. Akhirnya, saya kerja bangunan bagian campur pasir. Saya satu bulan bekerja menjadi kuli bangunan. Kemudian, bulan berikutnya saya tak kerja lagi karena saudara saya yang mengajar di Kabupaten Asmat memanggil saya ke sana. Tujuan ke sana untuk menjadi guru. Saat ke Asmat, saya naik pesawat yang ukuran kecil. Saya mendarat di Bandara Ewer. Saudara saya juga tinggal di Ewer karena dia mengajar di Sekolah dasar di Ewer. Rumah dinasnya berada di sekitar Bandara Ewer. Saudara saya sangat senang dan gembira karena saya bertemu mereka. Di tempat tinggal saudara, saya merasakan mandi dengan air hujan yang ditampung di drom. Waktu saya ingat, saya hanya semalam di rumah saudara di Kampung Ewer. Keesokan pagi, saya bersama keluarga terbang lagi ke Timika. Selanjutnya ke Jayapura. Dari Jayapura terbang ke Merauke untuk merayakan Natal dan tahun baru 2003. Selama berada di Kota Merauke, kami tinggal di rumah Opa Ben Narung. Beberapa lama di Merauke, saya gelisah karena belum bekerja. Kemudian, saya mendapatkan informasi bahwa ada lowongan kerja menjadi guru di salah satu Sekolah Menengah Atas di Kota Merauke. Saya melamar dan diterima menjadi guru. Mengajar. Terjadi pergolakan batin antara profesi guru dan jurnalis.
Bertemu Fidelis Jeminta
Saat Natal perayaan Natal dan Tahun Baru bersama Manggarai di tanah rantauan Merauke. Saya bertemu Fidelis Jeminta, redaktur Timika Pos, Biro Merauke. Jeminta menawarkan saya untuk bergabung menjadi wartawan Timika Pos, Biro Merauke. Tawaran menarik. Namun, sebelumnya saya sama sekali tidak pernah mengetahui dunia jurnalistik. Jeminta menyakinkan saya bahwa dirinya siap membantu dan membimbing. Saya buat lamaran dan diterima. Tapi, saya juga masih mengajar di Sekolah Menengah Atas di kota tersebut. Akhirnya saya memutuskan menjadi wartawan Timika Pos di Kota Merauke.
Kota Musamus, Merauke Jadi Peletak Dasar
Memulai kerja Jurnalis dari belajar otodidak di Kota Musamus, Merauke-Papua dibimbing oleh Fidelis Jeminta, redaktur Timika Pos dan wartawan senior. Hari pertama menjadi wartawan, saya disuruh liputan sidang di Kantor DPRD Merauke. Pesan pertamanya sebelum ke Gedung DPRD, dengar saja saat sidang, mencatat. Saya belum mengenal kaidah jurnalistik, 5W1H. Setelah selesai sidang, saya pulang ke Kantor Biro. Selanjutnya Jeminta bertanya, apa yang dicatat, diketik di komputer. Ketik saja apa yang sudah dicatat. Selesai ketik, saya beritahu Jeminta. Kemudian dia periksa. Selanjutnya, dia minta saya jangan pulang ke rumah. Duduk di samping saya. Saat itu Jeminta mengoreksi berita yang saya buat dengan kaidah 5W1H. Sejak saat itu saya belajar membuat berita dengan kaidah 5W1H. Saat itu Jeminta menekankan publikasi di media cetak, belum mengenal media online dengan etika jurnalistik, rendah hati dengan narasumber serta ketat dengan keberimbangan berita (Cover both side). Bertanya, mencatat apa saja yang disampaikan narasumber, mengumpulkan data tambahan, akurasi dalam naskah berita. Jikalau belum naskah berita yang dikoreksinya belum memenuhi kaidah jurnalistik, dia (Jeminta) menghubungi lagi narasumber untuk memastikan kebenaran informasi.
Liput di Kimaam, Sota, Kali Kumbe Pedalaman Merauke
Panggilan menjadi wartawan terjadi pertama kali di Kota Merauke. Merauke juga bisa disebut Kota Musamus. Satu hari saya ditugaskan meliput kunjungan kerja dengan Wakil Bupati di Kimaam, pedalaman Merauke. Kami naik pesawat Merpati dari Bandara Mopah, Merauke menuju Bandara Udara Kimaam. Dari Bandara Kimaam, kami baik speedboad ke salah satu kampung di wilayah Kimaam tersebut. Kami menginap semalam di pedalaman Merauke tersebut. Profesi ini terus saya lakukan dengan meliput di Sota, Perbatasan NKRI dengan PNG. Ada tugu perbatasan. Meliput di Kali Kumbe bersam dengan Bupati Merauke di waktu itu. Saat itu saya dibonceng karena saya tak bisa bawa motor berkopling. Saat di Kali Kumbe itu, saya merasakan penumpang duduk di perahu bersama dengan motor yang dimuat diperahu. Saya selama satu setahun bergelut di dunia jurnalistik di Kota Merauke 2004. Kemudian saya ditarik ke Kantor pusat Timika Pos di Kota Timika. Artinya saya kembali lagi ke Timika. Tahun 2005, saya mulai bekerja menjadi wartawan di Kota Timika. Saya ditempatkan di desk liputan kriminal dan hukum. Setiap pagi ke kantor untuk rapat redaksi serta menerima penugasan dari redaktur. Di Kota Timika, liputan semakin padat. Selama meliput di Kota Timika, banyak redaktur yang membimbing. Bahkan, bertemu dengan sejumlah wartawan dari berbagai media cetak dan televisi. Selanjutnya saya pindah kerja menjadi kontributor The Jakarta Post di wilayah Selatan Papua. Di media ini menambah pengetahuan dengan liputan yang semakin luas. Liputan di Kabupaten Nabire, Paniai, Asmat, Jayapura dan Merauke. Transportasi utama untuk liputan antar Kabupaten dengan baik pesawat. Liputan pembangunan Bandara Udara Mulu di pegunungan. Liputan percetakan sawah di Potowayburu. Liputan festival budaya Asmat. Liputan kasus peperangan di Kampung Kwamki Lama. Liputan di areal pertambangan. Banyak hal unik selama menjadi wartawan di Papua. Saya di Papua dari 2003-Desember 2010.
Desember 2010, Kembali ke Ibu Pertiwi Manggarai Raya
Saya memutuskan pulang kampung di ibu pertiwi Manggarai Raya, Flores, NTT Desember 2010. Aktif menjadi wartawan di Manggarai Timur 2011 dengan status kontributor The Jakarta Post. Saat di Manggarai Timur hampir putus asa dan ingin beralih ke profesi lain. Namun, motivasi pribadi tetap menjadi wartawan. Waktu di Manggarai Timur belum memiliki motor. Akhirnya kredit beli motor. Internet untuk kirim berita juga belum secanggih sekarang. Saya biasa kirim berita dengan sewa di warung internet di Kampung Bugis, Kelurahan Kota Ndora, Kecamatan Borong. Saya biasa datang dari Kampung Waekolong, Desa Ranakolong dengan sepeda motor. Saat di Manggarai Timur, saya bertemu dengan wartawan Pos Kupang, kontributor TVRI, yang kini wartawan Flores Pos, Albertus Harianto, Wartawan Timex, Fansi Runggat. Kesulitan dan tantangan yang saya hadapi selama berkarya di Manggarai Timur dengan tenang, tekun dan fokus. Untuk mengatasi kesulitan internet, saya beli alat modem yang disambungkan ke laptop. Dengan alat modem ini memudahkan saya untuk mengirim berita dari Manggarai Timur untuk media The Jakarta Post dan dibaca seluruh dunia.
Selama di Manggarai Timur, biasanya saya mencatat seluruh hasil liputan dan mengetik di laptop di rumah Dinas di kompleks Mabako, Waelengga. Waktu itu belum ada handphone canggih, Android, paling handphone merek Nokia dan meningkat dengan produk handphone blackberry. Selama di Papua dan Manggarai Timur, saya belajar dari kelemahan dan kekurangan dalam mengelola naskah berita. Banyak masukan dari redaktur. Teguran keras pun saya alami. Semua itu memacu saya untuk membenah diri, menata diri sambil memegang teguh etika jurnalistik dan keberimbangan berita. Selanjutnya, bermunculan media online di tengah tahun 2011. Selanjutnya ada tawaran menjadi kontributor Kompas.com di wilayah Flores. Tawaran itu saya terima berkat jasa seorang teman yang bekerja di media asing di Jakarta. Berkat pertemanan dari Papua hingga di Flores. Saya biasanya membantu teman itu. Selama di Pulau Flores saya menjadi kontributor dua media Nasional. Selain itu saya menjadi freelance di beberapa media. Semua itu saya syukuri.
Jalan Kaki dari Tango ke Borong
Ada pengalaman menarik bagi saya selama menjadi wartawan di Manggarai Timur. Saat itu saya singgah di rumah adik di wilayah Tango. Lalu, saya dapat telepon ada liputan menarik di Kota Borong. Tak ada uang di saku. Mau minta uang di keluarga malu, akhirnya saya memutuskan jalan kaki dari Tango ke Borong. Keringat sudah pasti. Saat itu juga berpikir dan bergejolak dalam batin dengan sebuah, apakah saya bertahan menjadi wartawan ataukah beralih di pekerjaan lainnya? Manusia seperti saya ini pasti selalu bertanya dan berpikir apabila menemukan kesulitan. Kesulitan itu perlahan-lahan diatasi dengan sebuah ketekunan, fokus dan mengelola perasaan serta berpikir untuk bertahan menjadi wartawan. Berdoa itu sudah pasti. Hidup tanpa doa adalah mati. Hidup tanpa doa sama seperti terbang di langit tanpa sayap. Pasti jatuh. Berdoa menopang kehidupan saya selama menjadi wartawan. Wartawan, jangan sekali-kali tidak berdoa. Jangan andalkan ilmu pengetahuan. Berdoa mampu mengawasi diri seorang wartawan dalam menghadapi tantangan dan kesulitan. Iman juga mampu mengawasi kerja seorang wartawan.
Membaca Buku sebagai Penopang Kerja Jurnalistik
Untuk mengatasi kelemahan dan kekurangan saya dalam menarasikan sebuah berita, saya biasanya membaca buku. Membaca liputan ficer dari wartawan senior yang sudah menerbitkan buku. Saya biasanya mengurangi belanja baju, sepatu dan celana panjang, saya membiasakan diri membeli buku. Buku apa saja saya pasti beli. Selain itu saya biasa diskusi dengan relasi yang memiliki kemampuan lebih dalam dunia tulis menulis. Saya menimba ilmu dari mereka. Saya akui kekurangan dan kelemahan saya dalam dunia tulis menulis.
Media Online Ada di Manggarai Timur
Perkembangan teknologi memudahkan orang yang mahir di teknologi informasi memudahkan setiap orang mendirikan media online. Dari pemahaman pembaca di media cetak beralih ke media online dengan gaya liputannya. Terjadi perdebatan dengan hadirnya juga media sosial. Mengubah pola berpikir pembaca yang sudah terbiasa membaca berita di media cetak membutuhkan proses pemahaman yang sama. Intinya, pembaca memahami kinerja jurnalis yang mengedepankan etika jurnalistik, keberimbangan berita. Silang pendapat dan perdebatan terus terjadi dengan berkembang media online yang tak bisa dibendung. Pembaca harus membiasakan diri untuk membaca media online sambil memberikan masukan yang konstruksi, walaupun media cetak tetap ada. Pembaca harus memahami perkembangan media massa dari yang konvensional menuju ke era digital. Media online seharusnya membenahi diri, mengelola media online sesuai aturan-aturan yang berlaku. Utamakan etika jurnalistik, akurasi dan keberimbangan berita dengan fakta lapangan yang akurat. Cek dan ricek berita sangat diutamakan di era digital karena media massa online juga bisa berhadapan dengan hukum. Saat ini pembaca sangat cerdas dengan kinerja jurnalis. Untuk itu seorang jurnalis harus menambah wawasan dan pengetahuan dunia jurnalistik. Tentu yang utama adalah belajar terus menerus sesuai dengan perkembangan zaman. Jikalau pembaca semakin kritis dengan pemberitaan, jurnalis dan pemilik media massa lebih cerdas lagi dengan mengedepankan etika jurnalistik, keberimbangan, akurasi, cek dan ricek dan klarifikasi dengan berbagai pihak.
Saling Belajar
Saya banyak belajar dari sesama jurnalis di Manggarai Timur. Menyapa yang papa, menggugah yang mapan seperti pesan Pendiri KOMPAS, Jakob Oetama. Saya dididik menjadi wartawan pemula oleh Senior jurnalis Papua, Fidelis Jeminta. Dari kisah inung wae minse bening (minum air nira) di Sari di Beo Wajur, Kolang hingga makan enak di restaurant mewah. Itu semua kisah dan pengalaman hidup sebagai jurnalis. Dari jalan kaki hingga naik pesawat karena profesi mulia ini. Dari kuli tinta hingga kuli handphone adalah perkembangan di era teknologi sekarang. Saya boleh katakan bahwa sekarang ini wartawan kuli handphone dengan jarinya. Mungkin suatu saat akan kembali ke kuli tinta jikalau teknologi akan mentok. Dari tulis tangan, ketik di mesin Tik hingga ketik di Komputer, lalu laptop dan dilanjutkan di Ipod dan handphone android. Itulah kemajuan perkembangan teknologi. Dari tenteng kamera berubah hanya bawa handphone untuk memotret dan dari media cetak ke media online. Dunia semakin canggih. Namun, semoga karya jurnalis semakin maju dan berimbang. Dari Tidak Tahu Menjadi Tahu. Jangan sebaliknya, Dari tahu menjadi semakin tidak tahu. Selamat Hari Pers Nasional 2021 di tengah Pandemi Covid19. Hidup seorang wartawan semakin susah di tengah pandemi Covid19. Wartawan dan pemilik media Harus Bangkit dari Pandemi Covid19 *
Tulisan ini sudah dimuat di www.berandanegeri.com