Oleh Theo van den Broek
Saat diundang untuk membuat ‘tulisan kenangan akan Saudara Muridan’, pikiran saya secara spontan ditarik pada apa yang paling saya kagumi dalam pribadi seorang Muridan S. Widjojo. Yakni, gayanya menempatkan diri sebagai ‘pendatang’ di tengah para ‘orang asli Papua’ yang memperjuangkan pengindahan ‘hak anak sulung’ di tanahnya sendiri. Saya tidak terlalu sering bertemu dengan Muridan, namun sewaktu bertemu, saya selalu merasa dekat dengannya dan kami dapat membahas sejumlah hal yang menjadi niat dan keprihatinan kami bersama. Tujuan pembahasan kami tidak lain daripada lebih memahami permasalahan dan menemukan apa yang sebaiknya dibuat untuk mengatasi segala halangan mencapai suatu suasana hidup yang lebih damai dan yang mengindahkan harapan dasar dan benar ‘anak sulung’ di tanahnya sendiri.
Dalam proses itu ada dua hal yang menentukan: [1] kami ’sebagai pendatang’ menempatkan diri sebagai ‘tamu’ yang diterima dengan terbuka hati dan yang mengakui hak anak sulung yang menjadi ‘tuan rumah’ kami, dan [2] kami membangun sebuah jembatan, agar kita dapat bertemu dan duduk bersama sehingga masalahnya menjadi ‘kepentingan kita bersama’, ‘proyek bersama’ sampai tercipta sebuah kesetiakawanan yang sejati yang mampu memikul beban bersama dan bergembira hati bersama atas segala titik terang yang tercapai.
Dari ringkasan diatas saya juga sadar bahwa hal yang sangat menentukan adalah [1] sikap dasar kita secara pribadi, dan [2] bobot hubungan antara para Orang Asli Papua (lazimnya disebut OAP) dan para pendatang. Masalah di Papua bukan lagi masalah tunggal OAP namun sangat membutuhkan pemahaman serta keikutsertaan para pendatang dalam proses penyelesaiannya secara adil dan benar. Sahabat Muridan menghayati hal itu secara mendalam.
Situasi yang ditandai Perubahan Secara Demografis
Pada kesempatan ini saya berupaya menguraikan lebih lanjut kenyataan di Papua dari perspektif tadidi atas. Selama 45 tahun hidup dan berkarya di Papua, saya mengalami dan menyaksikan bahwa suasana hidup di Papua sangat berubah dari segi kependudukan. Sewaktu mulai tinggal di Papua, pada tahun 1975, masyarakat asli Papua masih menjadi penduduk mayoritas di Papua (di atas 90%). Situasi ini mulai berubah sewaktu ‘program transmigrasi’ mulai diluncurkan selama pemerintahan Presiden Suharto. Setelah program transmigrasi dihentikan secara resmi, tidak tersubsidi lagi, migrasi ke Papua malahan menjadi lebih ramai lagi. Banyak orang mencari nafkah di Papua, karena kurang ada peluang di kampung halaman mereka sendiri. Pada umumnya para pendatang ini diterima dengan baik saja oleh penduduk asli di Papua, dan malahan sering terdengar bahwa Orang Asli Papua (OAP) merasa kasihan dengan para pendatang yang begitu miskin, tidak punyai apa-apa, sedangkan orang Papua sendiri mempunyai apa saja yang dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari. Selama periode awal migrasi ini, jarang ada berita mengenai konflik berat antara para OAP dan para pendatang. Sekali-kali ada insiden-insiden, namun lazimnya tidak sulit untuk diatasi. Apalagi OAP menghayati secara tradisional ‘kewajibannya yang wajar’ untuk bertanggungjawab atas keselamatan para pendatang, karena mereka adalah tamu. Sikap dasar ini saya alami sendiri berulang kali sewaktu saya masih berjalan kaki di pedalaman dari satu kampung ke kampung jauh lainnya. Sikap dasar ini juga masih sangat kentara, baru-baru ini selama peristiwa di Wamena (29 September 2019) ketika para pendatang tiba-tiba menjadi sasaran pengejaran sekelompok orang yang ingin menghantam mereka. Saat itu ratusan orang pendatang dilindungi dan diselamatkan oleh orang asli Papua setempat.
Walau secara umum tidak banyak konflik terbuka, tidak dapat disangkal juga adanya kenyataan bahwa OAP sekarang sudah menjadi kelompok minoritas secara demografis di tanah mereka sendiri. Proses ke titik keminoritasan ini diwarnai dengan banyak pengalaman yang cukup pahit. Yakni, OAP merasa bahwa peluang-peluang kesejahteraan yang ada dimanfaatkan oleh orang luar sedangkan mereka sendiri makin digeser ke pinggiran (marginalisasi yang sangat nyata). Juga ditingkat kekuatan politik, OAP, walau ada jaminan sejumlah posisi penting seperti Gubernur dll, mengalami bahwa kebijakan-kebijakan di tanah mereka ditentukan oleh para pendatang. Kursi-kursi di Dewan Perwakilan Rakyat di segala tingkat makin diduduki secara mayoritas oleh para pendatang. Ditambah lagi bahwa banyak pegangan traditional dalam kehidupan sehari-hari (budaya, ekonomis, kepemimpinan) mulai hilang atau tidak dihargai dan tidak diindahkan lagi. Mereka makin merasa kehilangan kedudukan sebagai ‘tuan rumah’ sejati serta haknya sebagai ‘anak sulung’ di tanahnya sendiri.
Situasi yang ditandai Gerakan Aspirasi Menentukan Nasibnya Sendiri
Perkembangan ini juga tidak lepas dari makin kuatnya gerakan ‘referendum/kemerdekaan’ yang sejak proses pengintegrasian Papua kedalam Republik Indonesia sudah ada dan akhir 1990-an mulai terus berkembang secara pesat. Makin disadari bahwa di Papua ada sejumlah masalah yang sangat mendasar yang kurang ditangani. Empat masalah utama diuraikan dengan sangat teliti oleh tim LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang dimotori Muridan, yakni: [1] masalah diskriminasi dan marginalisasi, [2] pola pembangunan yang tidak tepat, [3] pelanggaran HAM yang terus terjadi, dan [4] proses pengintegrasian dalam NKRI yang cacat hukum dan menyangkal suara OAP. Sementara upaya untuk menangani proses penyelesaian masalah dasar di Papua, terutama melalui perjuangan mengadakan dialog, akhirnya macet total dan diambilalih oleh pemerintah pusat dengan pendekatan ekonomis dan terutama sekarang ini dengan pendekatan keamanan.
Situasi yang ditandai Konflik Vertikal : Berbalik pada Kekerasan
Dalam suasana demikian ‘gerakan kemerdekaan/referendum’ berkembang dan menjadi harapan banyak OAP. Selama 10 tahun (2008-2018), gerakan ini menunjukkan suatu perjuangan yang sangat ditandai dengan cara damai dan dengan harapan akan dialog yang berbobot. Namun karena pengalaman ‘tidak ada kemajuan selama bertahun-tahun’ dan ‘penolakan pemerintah pusat untuk berdialog secara sejati’ para pejuang damai merasa bahwa masyarakat luas yang mendukungnya mulai tidak sabar lagi. Akhirnya gerakan ini juga mulai membiarkan pemakaian kekerasan sebagai sarana perjuangan. Dengan adanya perubahan kebijakan perjuangan ini ‘gerakan dialog’ sama sekali didiamkan dan sebaliknya tindakan kekerasan menjadi legitimasi oleh pemerintah pusat untuk mewujudkan militerisasi secara besar-besaran di Papua. Setiap hari, kita semua mengalami akibat dari perubahan kebijakan ini. ‘Pengalaman penderitaan’ baru ini dengan jelas terungkap melalui beberapa laporan aktual, a.l. laporan mengenai ‘tragedi kemanusiaan’ di Kabupaten Intan Jaya, yang terletak di Pegunungan Tengah, di mana selama setahun terakhir ini masyarakat setempat makin menjadi korban operasi militer. Sejak Desember 2019 lebih dari 12 orang warga sipil di Intan Jaya dibunuh dan ratusan orang terpaksa meninggalkan kampungnya karena merasa terancam dan tidak aman lagi karena kehadiran serta operasi pasukan brimob/ tentara.
ituasi Yang Ditandai Rasisme, Diskriminasi Dan Konflik Horisontal Antar Etnis
Suasana hubungan antara para pendatang dan OAP ditunjukkan dengan cukup tajam selama masa ‘krisis rasial’ bulan Agustus-September 2019. Bangsa Papua betul merasa terhina secara mendalam oleh insiden rasis di Surabaya dan beberapa kota lain di Indonesia. Secara massal OAP turun ke jalan untuk berprotes. Protes ini di beberapa tempat juga disertai kekacauan. Protes masal yang sangat beralasan ini tidak direspon dengan tindakan tegas oleh pihak yang berwajib terhadap para pelaku rasisme di Surabaya. Namun dijawab dengan pengiriman ribuan pasukan, seakan-akan para pelaku kejahatan ada di Papua dan tidak di Surabaya. Dalam aksi demo lanjutan (29 Agustus 2019) terjadi tambahan kekacauan dan kerisuhan. Lainnya selama demo besar pertamanya (19 Agustus). Selama demo pertama di Jayapura, tim koordinasi masih dibantu pihak keamanan/polisi, namun entah kenapa, bantuan itu tidak diberikan selama demo kedua dan dibiarkan menjadi kacau (dipicu oleh siapa juga tidak jelas).
Dalam reaksi atas kerusuhan ini menjadi nyata betapa besarnya ketegangan antar etnis yang sampai saat ini masih agak tersembunyi. Selama aksi demo 29 Agustus 2020 sudah ada OAP yang dibunuh oleh sekelompok yang kelak menamakan diri “kelompok Nusantara”. Secara terang-terangan keesokan harinya, kelompok Nusantara ini menunggu atau mengejar OAP, secara khususnya ‘mereka yang dari pegunungan’ untuk dibunuh saja. Kelihatan pihak keamanan sangat lunak dalam menangani gerakan ‘kelompok Nusantara’ ini. Sebaliknya, sejumlah tokoh-tokoh perjuangan referendum/kemerdekaan, secara sistematis mulai ditangkap dan dituduh ada di belakang (peyelenggara) kerusuhan aksi protes. Akhirnya jumlah OAP yang ditangkap untuk diadili (kebanyakan dengan tuduhan ‘makar’) mendekati jumlah 90. Sampai sekarang, tidak ada investigasi yang serius atau transparan. Peranan pihak keamanan berhubungan dengan demo 29 Agustus yang ternyata menolak membantu koordinasi demo itu juga tidak diinvestigasi lebih lanjut, sedangkan semua aksi ‘kelompok Nusantara’ termasuk aksi pembunuhan yang mereka lakukan hanya disinggung ‘sepintas lalu’ dan sebagian besar ditutup. Pola yang sama kelihatan selama peristiwa di Wamena yang menuntut 40an korban yang separuhnya pendatang, separuhnya OAP. Investigasi yang diminta berulang kali, tidak pernah diadakan oleh pihak yang berwenang. Namun perhatian sangat besar diberikan kepada para pendatang yang ingin mengungsi atau dievakuasi keluar dari Wamena. Bahwa sejumlah OAP juga terpaksa mengungsi tidak menjadi perhatian pihak yang berwajib.
Kejadian sekitar ‘krisis rasisme’ ini yang secara singkat kami kisahkan diatas sangat berdampak pada hubungan antara para OAP dan para pendatang. Setelah sekian banyak pejuang referendum (anggota KNPB/ULMWP) dipenjarakan, KNPB secara publik menyatakan bahwa ‘mau mengusir semua pendatang keluar dari Papua’. Ini suatu sikap yang baru dan mengagetkan. Sedangkan paguyuban-paguyuban pendatang merasa posisinya diperkuat karena mendapat dukungan pihak keamanan dan pemerintahan secara nyata. Pihak OAP dalam pertemuan bersama dengan paguyuban pendatang di Wamena dengan ihklas hati meminta maaf kepada para pendatang atas kejadian kekerasan yang terjadi dan yang mereka tidak mampu menghindari. Sedangkan dari pihak Paguyuban tidak ada pernyataan serupa itu. Posisi kuat yang baru juga mendorong paguyuban pendatang untuk bertemu dengan Presiden. Dalam pertemuan itu mereka mengusulkan dan mendukung pemekaran di Papua sesuai dengan wilayah-wilayah adat traditional.
Sikap intervensi yang ditunjukkan paguyuban pendatang ini sangat dikritik oleh para tokoh OAP karena soal pemekaran sesuai wilayah adat itu ‘bukan urusan pendatang’. Dengan kata lain, OAP menilai bahwa paguyuban-paguyuban pendatang itu sudah melewati wewenang/kedudukan mereka dan tidak menghargai apa yang menjadi hak khas OAP, hak ‘anak sulung’ di Papua. Posisi ‘kelompok Nusantara’ juga diutamakan oleh pihak keamanan. Kapolda sewaktu memberikan ‘peringatan’ kepada pihak yang ingin menyambut pulangnya 7 tahahan politik Papua yang disidangkan di Balikpapan, beliau memberikan peringatan dengan menyatakan ‘bahwa para pendatang masih menyimpan kemarahan’ karena mereka belum dapat mengatasi kerugian yang diderita pada bulan Agustus 2019[1]. Catatan demikian mudah dapat dibaca sebagai semacam ancaman, yang ‘diutamakan’ oleh pihak keamanan untuk mengendalikan aksi OAP. Sudah semestinya sikap demikian tidak membantu untuk meredakan konflik horizontal.
Situasi yang ditandai Polarisasi dan Radikalisasi
Sudah tentu catatan diatas menunjukkan bahwa selama satu tahun terakhir ini polarisasi antara OAP dan pendatang diperkuat secara signifikan. Memang seluruh suasana hidup di Papua selama satu tahun terakhir ini menunjukan suatu ‘trend radikalisasi’ baik dari pihak para pejuang maupun dari pihak pelaku kekerasan, baik aparat TNI maupun TPNPB. Polarisasi terjadi antara ‘yang asli’ dan ‘yang dari luar’. Tapi juga antara Pemerintah Daerah maupun Pusat dengan masyarakat Papua sekitar soal Otsus dan Pemekaran. Polarisasi, kemungkinan besar akan diperkuat lagi waktu di masa mendatang, a.l. oleh misalkan rencana KNPB/ULMWP memobilisasi masyarakat masal melalui Pemogokan Sipil Nasional. Melalui program sedemikian banyak orang akan didesak untuk ’memilih pro atau kontra’, hingga tidak heran kalau ini akan menghasilkan sebuah perpecahan tambahan di antara masyarakat OAP dan dengan kelompok pendatang. Retak-retak perpecahan sudah ada juga di tingkat sekelompok elite dan oportunis, yang mudah dapat ‘dibeli’ demi menyuarakan dukungan pada program pemerintah, entah apa saja. Juga dalam peningkatan vokalitas ‘kelompok-kelompok merahputih’. Juga kampanye ‘media sosial’ yang baru ini didorong oleh pihak yang berwajib dan bermaksud untuk menandingi informasi dari Papua yang kritis akan menyumbang secara signifikan pada polarisasi dan radikalisasi ini. Apalagi dengan adanya kampanye itu, nantinya tidak akan ada satu berita pun lagi yang masih sewajarnya dapat dinilai ‘benar’. Kebenaran dan kejujuran sedang dikorbankan demi perebutan kekuasaan.
Situasi yang ditandai Stigmatisasi
Sementara waktu stigmatisasi Papua sebagai ‘kelompok separatis’ sangat dihidupkan kembali. Selama masa krisis rasisme (Agustus-September 2019), bukan rasisme yang dijawab namun kesempatan dipakai untuk mewujudkan suatu skenario ‘menduduki Papua’ oleh militer/polisi karena Papua adalah ‘separatis’. Scenario itu dijalankan dengan sangat rapi dan cepat seakan-akan sudah ‘siap pakai’, menunggu suatu ‘momentum/kesempatan yang cocok’. Prosesnya menjadi ‘berita nasional terarah’ bagi seluruh masyarakat Indonesia setiap hari. Stigmatisasi sekarang lagi sangat dibesarkan melalui ‘kampanye media sosial’ yang memberikan informasi mengenai Papua, yang kurang sesuai kenyataan sebenarnya. Stigmatisasi juga kelihatan dalam upaya untuk memaksa masyarakat Papua menerima kelanjutannya bantuan Otonomi Khusus di mana ruang pengungkapan pendapat secara bebas dan publik dipersempit sampai nol. Semuanaya ini dilegitimasi dengan pernyataan bahwa ‘Papua adalah separatis’ dan mengancam keutuhan NKRI. Akibatnya persoalan yang sebenarnya dan yang pernah dikaji dan diuraikan oleh LIPI mulai tenggelam dalam arus stigmatisasi berat itu.
Bagaimana ke Depan?
Dalam suasana yang digambarkan diatas menjadi makin sulit untuk menemukan titik-titik terang menuju penyelesaian permasalahan di Papua secara baik dan damai. Demi mencapai damai di tanah Papua kita perlu memenuhi ‘tiga persyaratan mutlak’: [1] hentikan segala kekerasan di Papua baik oleh TNI/Polisi maupun oleh TPNPB; [2] menggeser prioritas utama pemerintahan Jokowi Jilid II tahun 2020; dari pengembangan ekonomi sebagai prioritas utama menjadi penghargaan dan perlindungan martabat setiap manusia sebagai prioritas negara yang utama[2] ; dan [3] menyatakan bersedia (political will) membuka dialog yang sejati. Sudah tentu tidaklah gampang untuk memenuhi tiga persyarat mutlak itu dan banyak tenaga dan keringat perlu diandalkan untuk melaksanakan suatu program penyuluhan serta lobbying, memberikan pemahaman yang benar mengenai keadaan dan masalah di Papua. Oleh karena itu diharapkan para pemegang kepentingan serta penentu kebijakan menjadi sadar dan termotiviasi mengambil sikap yang baru dan terbuka. Maka, kita berkemauan politik untuk bertindak berdasarkan kebenaran. Selanjutnya kita membuka diri untuk menghayati nilainya dan tepatnya ciri khas pendekatan orang seperti Muridan yang pada dasarnya bertitiktolak dari ‘hak anak sulung bangsa di tanahnya sendiri’, sambil mengakui bahwa Papua menjadi bagian Republik Indonesia saat ini.
Penyuluhan yang Dibutuhkan
Kenapa gerakan penyuluhan ini menjadi begitu penting? Jawabannya sederhana sebenarnya: karena wilayah Papua diisi oleh sekitar 65% (taksiran saya) penduduk yang berasal dari luar Papua. Orang asli Papua sudah menjadi suatu minoritas yang nyata (sekitar 35%). Ini berarti bahwa sudah sekian banyak orang menetap di Papua dan bergantungan dari kerja di sini, maka tidak dapat diabaikan lagi dalam mendapatkan solusi permasalahan di Papua. Mau tidak mau, permasalahan di Papua sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka juga, maka mereka juga mesti menjadi bagian dari suatu solusi. Muridan selalu mengharapkan bahwa kenyataan itu turut diakui semua, sehingga diambil langkah untuk melibatkan mereka dalam proses penyelesaian secara konstrukif. Kalau kita mau peranan ini akan menjadi efektif, sudah tentu, mereka perlu dibantu untuk memahami masalahnya yang benar dan tidak boleh dibiarkan membonceng pada ‘stigma’ yang menyesatkan. Oleh karena itu, perlu diadakan program khusus hubungan antar etnis. terutama di kalangan para paguyuban maupun Lembaga-Lembaga Adat dan Agama. Mengingat derasnya polarisasi serta radikalisasi yang diperlihatkan oleh perkembangan selama satu setengah tahun terakhir ini, gerakan yang mengutamakan keterbukaan, informasi yang benar, transparansi dan pemahaman bersama sangat mendesak dan mutlak.
Sekitar Isi Penyuluhan
Isi penyuluhannya menyangkut baik latarbelakang serta isi masalahnya yang sebenarnya, maupun kesediaan untuk menghentikan segala ‘distorsi kebenaran’ serta ‘stigmatisasi’ seperti yang sedang dijalankan secara masal. Tidak boleh ada lagi ruang untuk suatu kampanye ‘berita buatan’ di media sosial; sewajarnya akses pada Papua untuk wartawan dan peneliti dibuka. Penyuluhan ini perlu memperjelas data-data konkrit mengenai empat akar masalah yang disebut dalam ‘Road Map’ yang dikembangkan oleh LIPI. [1] Apa artinya dan wajah konkrit ‘diskriminasi serta marginalisasi’ itu dalam kenyataan sehari-hari di Papua dewasa ini? [2] Bagaimana pola ekonomi yang dibutuhkan? Sebenarnya Papua perlu suatu pola ekonomi yang sangat ‘people oriented’ (malahan memprioritaskan OAP secara konstruktif/positif). Pola ekonomi yang dibutuhkan mesti menjamin kelestarian alam dan pengindahan hak ulayat masyarakat adat. Bagaimana kepentingan kemanusiaan, secara khusus ‘tuan rumah’, dijadikan pusat pola pembangunan di Papua, dan bukan pencarian keuntungan dengan menghabiskan kekayaan alam? [3] Bagaimana menghilangkan pelanggaran HAM yang sudah menjadi bagian keseharian kehidupan OAP? Bagaimana rasa diberlakukan secara adil dan benar diwujudkan dalam pengalaman sehari-hari OAP dewasa ini? Kenapa kepercayaan OAP dalam ‘negara hukum’ dan pemerintahan sudah hilang? Kenapa begitu banyak pelanggaran HAM masih terjadi di Papua, dan kenapa tidak pernah dapat diselesaikan semestinya? [4] Kenapa bangsa Papua mengalami kesulitan untuk mengakui pengintegrasian Papua dalam NKRI yang menjadi catatan resmi oleh PBB? Kenapa hasil Pepera dapat dinilai ‘pengungkapan pendapat rakyat’ yang ‘cacat hukum’?
Banyak unsur pokok diatas perlu dijadikan isi penyuluhan yang perlu dijalankan supaya akhirnya masyarakat Indonesia yang luas, dan secara khusus para ‘pendatang di Papua’ dapat memahami permasalahan di Papua. Penyuluhan ini dapat ditangani langsung oleh Pemerintah Daerah, dibantu oleh suatu Kelompok Kerja Khusus. Kelompok Kerja Khusus (K3) ini bisa ditempatkan sebagai suatu ‘bagian pelengkap’ Jaringan Damai Papua (JDP) yang sudah ada. Diharapkan K3 beranggotakan lintas bangsa, mewakili keahlian yang tepat dan anggotanya bersedia bergerak secara purnawaktu. Biaya K3 disarankan menjadi tanggungan langsung dari dana Otsus. Program penyuluhan dapat melibatkan lembaga-lembaga sosial masyarakat, termasuk Lembaga berkapasitas khusus seperti Universitas/ Lembaga penelitian, Lembaga Perwakilan Rakyat dan pada dasarnya siapa saja yang mencintai kebenaran. Peranan khusus diharapkan dari semua Institusi Agama secara bersama karena mereka patut – malahan wajib – berada di baris depan sesaat kebenaran dan martabat manusia terancam. Bahan konkrit dan yang mudah dapat dipahami perlu dikembangkan, termasuk melalui audiovisual, banyak pertemuan antar etnis perlu diselenggarakan, dan segala ‘trend pembohongan dalam pemberitaan umum’ perlu dilawan. Segala insiden pelanggaran HAM perlu diinvestigasi secara transparan dan faktual oleh instansi yang dapat dipercaya, dan impunitas perlu diperangi oleh semua pihak.
Penyuluhan juga diharapkan menjadi kegiatan pokok oleh ULMWP/KNPB dalam upaya untuk merangkul para pendatang yang berniat memahami masalah yang dihadapi bersama di Papua. Hanya berdasarkan suatu pemahaman yang benar para pendatang dapat diundang dan diharapkan turut memikul masalahnya dan menjadi bagian dari solusinya. “Kebenaran”, “Pemahaman” dan “Kebersamaan dalam Masalah” menjadi kata kunci dalam gerakan yang dibutuhkan dewasa ini. Tanpa memegang tiga kata kunci ini Papua akan menjadi wilayah konflik yang berdarah di mana tak seorang pun dapat merasa aman dan hidup dalam damai.
Sekitar Perlunya Lobbying yang Berkwalitas Tinggi
Sudah tentu hanya memberitahukan data tidak mencukupi. Kita semuanya lazimnya juga perlu dibantu, diajak untuk bertindak sesuai dengan pemahaman yang benar. Mengingat bahwa Papua sekarang ini sangat didominasi oleh suatu pendekatan keamanan yang merupakan suatu strategi pemerintah pusat, sudah tentu strategi itu tidak mudah ditinggalkan oleh para penentu kebijakan sampai saat ini. Tambah lagi bahwa selama tahun 2020 pemerintah memberikan prioirtas utama pada ‘melancarkan ekonomi secara kuat’, maka perlu diupaya supaya bertumbuhnya kesadaran bahwa pola ekonommi yang tidak ‘memprioritaskan martabat manusia’ terancaman menjadi suatu bencana besar bagi banyak warga dan membuka pintu lebar pada pelanggaran HAM. Mengubah ‘mindset’ yang sudah ada baik dari segi strategi keamanan maupun dari segi prioritas ekonomi, bukan sesuatu yang mudah. Maka, suatu gerakan lobbying yang berkualitas secara khusus ditingkat para penentu kebijakan sangat dibutuhkan dan mutlak perlu ada. Boleh jadi sebaiknya LIPI diajak untuk mengambil pernanan besar dalam gerakan itu, dibantu aktivis dan/atau pejabat yang sudah lama memberikan tanda tertarik pada perubahan srategi. Peranan media masa yang bernama juga perlu diandalkan demi tercapai suatu perobahan ‘mindset’ banyak orang yang berkedudukan menentukan kebijakan.
Sikap Dasar yang Menentukan
Penyuluhan kebenaran, lobbying yang berkualitas serta solidaritas antar etnis/agama adalah satu sisi kebutuhkan kita, sisi lainnya adalah kebutuhan kita akan pribadi-pribadi orang yang menunjukkan ciri-ciri khas yang diperkenalkan oleh Muridan kepada kita semua. Menurut pengamatan saya, ciri khas Muridan terdiri dari [1] sikap dasar mengakui orang Papua sebagai ‘tuan rumah’; [2] menempatkan diri ditengah orang Papua sebagai seorang yang ingin turut memahami kenapa OAP merasa tidak dihargai dan bersedia turut mencari jalan perbaikannya; [3] bersedia mengakui bahwa OAP memiliki ‘hak anak sulung’ di tanahnya sendiri, maka sewajarnya mempunyai hak sejati untuk menyuarakan dengan tegas aspirasi dan harapannya menyangkut cara hidup serta masa depannya. Tiga ciri khas pokok ini menjadi motor dibelakang pergaulan Muridan dengan rakyat Papua. Dalam hubungan dengan misalnya rekan-rekannya di Jaringan Damai Papua (JDP) Muridan sangat berperan sekaligus selalu mengutamakan suara rekan asli Papua di atas pendapatnya sendiri. Juga pada saat dia berbeda pendapat dan/atau malahan merasa frustrasi dalam perjuangan bersama. Sikap demikian membuat dia diterima, didengar dan dihargai. ‘Dialah, salah satu dari kita’, omongan seorang Papua sewaktu mendengar berita meninggalnya Muridan. Kata-kata yang sederhana itu mempunyai makna yang sangat mendalam, dan bisa menjadi pegangan bagi kita semua!
Tiga sikap dasar tadi memang membuka jalan untuk berdialog, untuk saling mengenal dan untuk pelahan-lahan menemukan suatu jalan keluar yang baik untuk kepentingan bersama. Ternyata masyarakat terbuka untuk bertemu dengan siapa saja yang menunjukkan sikap dasar demikian dan akan menghargai sumbangan pikirannya. Sebaliknya ketika ternyata ‘hak anak sulung’ di tanahnya sendiri tidak diindahkan, memang orang Papua akan berontak, dan siapa yang berhak untuk mempersalahkannya? Pribadi orang seperti sahabat Muridan sangat dibutuhkan untuk membangun kembali jembatan antara bangsa Papua dan bangsa-bangsa lainnya di Indonesia. Sebenarnya bisa, asal kita jujur, tahu tempatnya masing-masing, dan menghentikan segala bentuk perebutan kekuasaan yang tidak berlandasan pengakuan hak setiap orang dan tidak mengindahkan martabatnya. Terima kasih banyak sobat, namamu Muridan tertulis dalam hati orang Papua untuk selama-lamanya dan ‘muridan-muridan’ susulan sangat diharapkan !!!
Jayapura, 20 Desember 2020
Tulisan ini sudah diterbitkan dalam Buku: “Emansipasi Papua”, Tulisan para Sahabat untuk Mengenang dan Menghormati Muridan S. Widjojo (1967-2014), Bab 23, hlm. 341-353, tahun 2021
[1] https://regional.kompas.com/read/2020/08/19/21095041/4-mantan-napi-kerusuhan-papua-akan-pulang-ini-pesan-kapolda
[2] Berhubungan dengan unsur ini menarik mendengar pernyataan dari pakar tata negara, Irmanputra Sidin, dalam program Indonesia Lawyers Club, awal desember 2020; https://www.youtube.com/watch?v=ey-yxhXrOt8350