Sebuah catatan, Tanah Moi
Pada abad 17, perusahaan dagang Belanda bernama Vereenigde Oost-indische Compagnie (VOC) melancarkan monopoli bisnis ekonomi dagang dan perluasan penguasaan wilayah koloni di daerah sekitar Maluku dan Papua melalui peperangan lokal dan ekspedisi menggunakan armada hongi (hongitochen) dan kora-kora.
Masyarakat adat di pesisir utara hingga ke daerah selatan di daerah Seget, Teminabuan, Konda hingga ke daerah Inanwatan, masih bisa menceritakan perjalanan leluhur dan pertemuan peperangan dengan armada hongi, maupun peperangan lokal yang melibatkan masyarakat adat sekitar. Situasi sosial ini mempengaruhi dan mengembangkan sistem sosial adat. Suku Moi di Sorong, mengenal hak wokokhoti , hak pengelolaan atas tanah yang diberikan sebagai penghargaan kepada kelompok marga baru datang karena bekerjasama dalam melindungi wilayah adat.
Tekanan sosial ekonomi dan akumulasi kapital dengan cara perampasan belum surut. Masyarakat adat di Kabupaten Sorong Selatan mengalami dampak perluasan bisnis dan usaha dagang yang melibatkan negara dan korporasi, maupun para pemodal dalam skala tertentu.
Suku Afsya, Gemna, Nakna dan Yaben, di Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat Daya (pemekaran dari Provinsi Papua Barat) sedang berhadapan dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit, pemodal yang membiayai penambangan pasir dan pengusaha kayu tanpa izin. Pemerintah daerah dan nasional menerbitkan izin untuk mengkonversi tanah dan hutan adat mereka kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit. Pengabaian atas hak masyarakat adat ini menimbulkan konflik dan ketegangan sosial di daerah ini.
Tahun 2021, masyarakat adat di daerah ini melakukan aksi-aksi protes terhadap perusahaan dan pemerintah untuk menolak rencana perusahaan kelapa sawit. Pemerintah daerah mencabut izin perusahaan PT Anugerah Sakti Internusa (ASI), namun perusahaan menolak dan menggugat Bupati hingga ke Mahkamah Agung. Sidang Mahkamah Agung memenangkan gugatan PT ASI. Masyarakat adat terdampak terancam kehilangan hak dan akses atas sumber mata pencaharian dan sumber hidup lainnya.
Awal tahun 2022, pemimpin Suku Afsya bersama masyarakat adat sekitar mendesak pemerintah daerah untuk mempercepat penetapan kebijakan rancangan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan Penghormatan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Sorong Selatan, yang ditetapkan pada Juni 2022 melalui Perda Nomor 03 Tahun 2022.
Sejak Oktober 2022, Suku Afsya mengupayakan pengakuan atas keberadaan dan hak-hak mereka berdasarkan Perda Nomor 03 Tahun 2022, dengan melakukan dokumentasi dan identifikasi terkait sejarah asal usul masyarakat adat Sub Suku Afsya, keberadaan lembaga adat, hukum adat dan putusan hukum (yurisprudensi adat), sejarah perjalanan leluhur, pemetaan penguasaan wilayah adat dan pemanfaatan tanah, serta batas-batasnya berdasarkan sistem kebiasaan adat dan hak-hak adat. Mendokumentasikan pengetahuan kearifan lokal dalam pengelolaan tanah, hutan adat dan kekayaan alam lainnya, dan harta benda adat bersejarah.
Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan telah menetapkan dan memutuskan Panitia Masyarakat Hukum Adat (MHA) berdasarkan SK Bupati Sorong Selatan Nomor 198.1/115/BSS/III/Tahun 2023. Panitia MHA telah dilantik pada Juli 2023.
Masyarakat Adat Afsya telah menyerahkan dokumen dan surat permohonan penetapan keberadaan dan hak masyarakat adat kepada Bupati dan Ketua Panitia MHA pada Juli 2023 dan Oktober 2023. Pada 20 September 2023, perwakilan dan pemimpin masyarakat adat Afysa, Marga Kareth, Marga Kemeray, Marga Meres dan perwakilan perempuan Orpa Konjol, bertemu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyerahkan usulan penetapan hutan adat.
Masyarakat adat Afsya di Distrik Konda aktif mendorong pemerintah daerah dan nasional untuk segera mengupayakan verifikasi teknis dan penetapan hingga pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Pada 22 Oktober 2023, masyarakat adat sub suku Afsya yang beranggotakan marga-marga Kareth, Kemeray, Meres, Sawor, Konjol, Komendi, Segeit, bermusyawarah dan menceritakan kembali sejarah asal usul, perjalanan leluhur, batas wilayah adat dan hak-hak pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan hutan adat. Rencana pada Senin, 23 Oktober 2023, akan dilakukan pra verifikasi terkait usulan penetapan pengakuan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat yang melibatkan Sub Suku Afsya dan masyarakat adat sekitar wilayah adat Afsya, yakni dari Sub Suku Nakna, Gemna, dan Yaben.
Perwujudan pengakuan hak masyarakat adat dan pemajuan hak asasi manusia merupakan tanggung jawab negara. Pengabaian dan pengingkaran hak masyarakat adat dapat berpotensi melanggar hak asasi manusia.