Judul di atas merupakan tema Rapat Pleno Dewan Adat ke XVII tahun 2024. Rapat pleno ini dilaksanakan di Sentani tepatnya di Balai Pelatihan Pertanian Provinsi Papua selama tiga hari sejak 07-09 Oktober 2024.
Dalam sambutannya, Yan Pieter Yarangga selaku Ketua Dewan Adat se-Tanah Papua menekankan tentang pentingnya peran Dewan Adat Papua khususnya para ketua adat dan masyarakat adat dalam menentukan masa depan orang asli Papua. “Untuk menyelamatkan Papua, Para kepala suku harus kembali ke kampung, selamatkan dirimu, selamatkan sukumu. Dengan begitu, barulah kita bisa menyelamatkan Papua,” tegas Yarangga.
Selanjutnya ialah materi pengayaan. Dr. Agus Sumule, seorang akademisi dari Universitas Papua (via zoom) selaku pemateri sesi pertama yang membahas tentang Solusi Pendidikan Dasar di Tanah Papua mengusulkan suatu program yang telah terlaksana di Wilayah Sorong sebagai solusi menyelamatkan anak-anak Papua dari buta huruf lewat pendidikan di seluruh wilayah adat yakni program Sekolah Sepanjang Hari (SSH). Dewan Adat Papua diminta berperan untuk mengaktifkan dana-dana kampung agar SSH juga didukung dengan program makan 3x sehari, berbeda dengan program makan siang gratis dari Presiden Prabowo.

Prof. Dr. M Hetaria dalam materinya tentang Peluang Hukum bagi Pemberlakuan Partai Lokal di Papua menyebut bahwa pembentukan lembaga Negara bertujuan untuk pemenuhan, penghargaan dan penghormatan HAM agar warga sejahtera, adil dan makmur. Prosesnya ialah lewat pemilihan lembaga-lembaga negara (legislatif dan eksekutif) dan salah satu yang berperan penting ialah partai politik. Dalam konteks papua, sesuai dengan UU Otsus 2001, partai lokal disediakan negara bagi anggota OPM yang turun gunung agar dapat memperjuangkan cita-citanya secara demokratis dan secara de jure termuat dalam UU Otsus 21/2001 pasal 28 ayat 1 dan 2 tentang Partai Politik, (1) Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik, (2) tatacara pembentukan partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan umun sesuai dengan persyaratan peraturan perundang-undangan. Mahkamah Konstitusi dalam putusan No 41/PUU-XVII/2019, menyebutkan bahwa tidak ditemukan bukti yang meyakinkan bahwa “partai politik” dalam pasal 28 UU 21/2001 adalah partai politik lokal, tetapi terlibat dalam dengan partai politik nasional di tingkat lokal (Papua). Dalam perkembangannya, UU No 2/2021 tentang Perubahan kedua UU Otsus 21/2001 menghapus pasal 28 ayat 1 dan 2 tersebut. Oleh karena itu, Hetaria menilai bahwa patut diperjuangkan revisi UU Otsus untuk perubahan ketiga agar partai politik lokal dan syarat OAP untuk persyaratan bupati dan Wabup atau walikota dan wakil wali kota.
Dengan demikian, peran BP3OKP amatlah krusial dalam mensinergi akselerasi pembangunan Otonomi Khusus di Provinsi Papua sebagaimana disampaikan oleh Ismail Sirfefa , anggota Pojka Bidang Politik, Hukum dan Keamanan BP3OKP. Hal ini karena BP3OKP menjadi lembaga penghubung antara pemerintah pusat (termasuk lintas kementerian) dan daerah (Papua) agar tercipta sinkronisasi dan harmonisasi. Di sinilah peran Dewan Adat Papua dalam meneruskan suara masyarakat Papua.
Lebih jauh, Abner Mansai dari Foker LSM dalam pemaparannya tentang Dampak Investasi terhadap Hak-Hak Masyarakat Adat Papua atas Sumber Daya Alam sebagai Sumber Kehidupan, mengingatkan kembali semua pihak bahwa di Papua, tanah adalah hak milik masyarakat adat (hak komunal) dan sifatnya berlapis dengan struktur adat dan strata kewenangan yang berbeda-beda dalam pengaturam tanah. Pelepasan tanah adat dikenal dengan tanah hak (milik orang luar) lewat jual beli atau praktek-praktek lainnya. Masyarakat adat perlu diberi ruang untuk berperan aktif dan terlibat sehingga masyarakat adat tidak pasif, defensif bahkan melakukan protes dan pemalangan. Fakta menunjukkan bahwa otoritas dan referensi pembangunan ada di pihak pemerintah, pengusaha maupun para pakar bukan masyarakat adat. Pemaparan Abner diperkuat oleh Naomi Marasian, yang menekankan tentang Pentingnya Pemetaan Tanah Adat dan Nilainya bagi Masyarakat Adat Papua terutama mempermudah rekonsiliasi ketika muncul konflik tanah adat.
By. Alexandro Rangga OFM