Seri Memoria Passionis No.43
Melihat Situasi Hak Asasi Manusia Papua Tahun 2024
Pada tahun 2024, Tanah Papua masih menghadapi serangkaian tantangan yang sangat kompleks; dari isu-isu deforestas dan lingkungan, pelanggaran Hak Asasi Manusia, hingga kesehatan dan pendidikan. Kompleksitas persoalan ini memberikan semangat untuk organisasi kemanusiaan dan lingkungan (Papua, luar Papua) terus merekam, mendalami dan mecari solusi terhadap persoalan tersebut. Justice, Peace, and Integrity of Creation Ordo Fratrum Minorum (JPIC OFM) Papua terpanggil melakukan dokumentasi dan menganalisa persoalan demi memberikan tawaran solusi dari persoalan tersebut. Salah satu bentuk dokumentasi yang biasa dilakukan adalah merekamnya dalam seri buku Memoria Passionis. Tahun 2025, JPIC OFM Papua menerbitkan lagi buku Seri Memoria Passionis yang berjudul ‘Tong Bicara Tapi Dong Jalan Terus’.

Malas Tahu, Hutan Rusak
Kisah kerusakan hutan di berbagai wilayah di Papua diurai oleh Dr. Ignasius Ngari OFM pada bab pertama dalam buku tersebut. Menurut Dr. Ignasius, kerusakan lingkungan, dalam hal ini hutan karena dialihfungsikan. Hutan dialihfungsikan menjadi lahan kelapa sawit. Selain itu yang menyebabkan deforestasi adalah investasi, secara khusus dalam proyek strategis nasional.
“Ada masalah sebenarnya dari perspektif yang saya lihat yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Yang pertama itu terlalu menyederhanakan. Presiden itu bicara ketahanan pangan kita lemah, apa penyebab ketahanan pangan lemah karena perubahan iklim. Untuk mengatasi itu yang dilakukan adalah merusak lingkungan. Bagi saya sebagai guru filsafat melihat secara logika hal ini cacat. Masalah dasar adalah lingkungan, menyebabkan masalah ekonomi, lalu menyelesaikannya merusak lagi lingkungan,” ungkap Bruder Ino Ngari OFM (sapaan Dr. Ignasius Ngari OFM) pada saat diskusi buku Memoria Passionis di STFT Fajar Timur Jayapura, Ppaua.

Hal senada juga disampaikan oleh Dosen STF Driyarkara Jakarta P. Fery Kurniawan OFM. Menurut Pater Fery, perilaku colonial yang menentukan segalanya menyebabkan alam di Papua dirusakan. “Perlu melihat kembali bentuk intervensi pemerintah pusat kepada masyaarakat di Papua yang hidup dengan tradisi lisan, yang sudah biasa hidup dengan alamnya apakah perlu dimodernisasi? Tidak harus. Persoalannya bukan terletak di modernisasi pendidikan, modernisasi masyarakat, tapi persoalannya alamnya dirusak sehingga mereka (masyarakat) tidak lagi menjadi subsisten,” jelas Pater Fery dalam diskusi buku Memoria Pasionis di Universitas Paramadina Jakarta.
Di tempat yang berbeda, Pendeta Emmy Sahertian mengatakan bahwa masalah utama di Papua adalah ketidakadilan ekologis. “Menurut saya masalah utama Papua adalah ketidakadilan ekologis yang menyebabkan masalah lainnya. Hutan Papua dihancurkan berdampak pada kehancuran kehidupan di sana (Papua),” tutur Pendeta Emmy saat menyampaikan padangannya dala kegiatan diskusi bkuku MP dii Kupang, NTT.;
Konflik: Lingkaran Setan
Di dalam analisis kritisnya, Pater Alexandro Rangga OFM menilai konflik bersenjata dan turunannya seperti tindakan penembakan, penganiayaan dan penyiksaan memiliki delik hukum. Hal lainnya adalah konflik bersenjata antara TPNPB OPM dan TNI Polri berdampak luas pada warga sipil di Tanah Papua. Konflik bersenjata ini menimbulkan banyak reaksi dan tanggapan dari pemerintah, DPR, NGO dan lembaga HAM untuk mencari solusi dari persoalan ini. Konflik bersenjata di Papua masih terus terjadi sampai saat ini.

“Jadi konflik antara TPNPB dan TNI punya pengaruh pada aspek-aspek lainnya di Papua. Soal pendidikan, kesehatan. Jadi kadang-kadang militer Indonesia meng-okupasi sarana-sarana publik seperti sekolah, puskesmas. Sebenarnya ini tidak boleh. Karena di-okupasi jadi orang tidak bisa sekolah dan periksa kesehatan. Kalua dari pihak TPNPB sarana publik itu dibakar,” jelas Pater Sandro Rangga OFM di Universitas Paramadina Jakarta.
Konflik bersenjata di Papua berkaitan juga dengan militerisme di Tanah Papua. Sutami Amin dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menilai konflik bersenjata dan perang di Papua telah tertanam dalam keseharian hidup, trauma kolektif dan pengusiran, pengungsian yang melimpah. Di Papua, operasi militer selalu berhubungan dengan praktek ekonomi ekstraktif sejak awal seperti perkebunan dan pertambangan. Perampasan dan pendudukan terus terjadi di Papua sampai saat ini.
Tong Bicara Tapi Dong Jalan Terus: Panggilan Solidaritas
Judul Buku Seri Memoria Passionis No. 43 yang diterbitkan oleh JPIC OFM Papua pada tahun 2025 ini berlandaskan pada segala aspirasi masyarakat adat Papua yang hampir semuanya tidak diberikan ruang dan dikabulkan. Aspirasi perampasan lahan atau hutan, aspirasi penyelesaian kasus HAM, penarikan militer non organic dan lain sebagainya, sepertinya menjadi angin lalu di telinga para pejabat di Negara Indonesia ini. Selain itu, buku ini juga sebagai panggilan solidaritas untuk semua orang di luar Papua.
“Setidaknya saya melihat buku yang sedang dan mungkin kita baca nanti memainkan tiga peran sekaligus yakni pertama, memainkan peran sebagai kesaksian langsung. Yang kedua, dia (buku) muncul sebagai kritik dan yang terakhir adalah sebagai panggilan solidaritas,” ungkap Sutami Amin dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.
Lewat catatan kritis yang ada, kami mengajak semua pemangku kepentingan untuk berpikir kritis dan bertindak secara kolaboratif dalam mencari solusi bagi berbagai permasalahan di Papua. Partisipasi aktif dari masyarakat Papua sendiri, khususnya masyarakat adat, sangatlah penting dalam proses ini karena keunikan budaya dan tradisi lokal harus dijaga dan dihormati sebagai bagian integral dari upaya pembangunan yang berkeadilan.

Akhirnya, kami berharap bahwa buku ini tidak hanya menjadi sekadar bacaan, tetapi juga sebuah panggilan untuk bertindak. Kami berharap karya ini dapat menjadi bahan refleksi dan diskusi bagi semua pihak yang berkepentingan, termasuk pemerintah pusat dan daerah, TNI-Polri, TPNPB/OPM, Komnas HAM, media, serta masyarakat Papua sendiri. Dengan kerja sama dari semua pihak, kita dapat menciptakan masa depan Papua yang lebih cerah, di mana Hak Asasi Manusia dihormati, lingkungan dilestarikan, dan masyarakat dapat menikmati kesejahteraan yang sejati. Semoga upaya ini dapat menjadi langkah awal menuju perubahan yang positif dan berkelanjutan bagi Tanah Papua.
Kegiatan diskusi buku ini dilaksanakan di STFT Fajar Timur, Kota Jayapura Papua pada 11 April 2025, di Universitas Paramadina Jakarta pada 17 Mei 2025 dan di Kota Kupang, NTT pada 25 Juni 2025.
By Admin