Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta bekerja sama dengan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat melaksanakan Seminar Nasional terkait Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke, Selatan Papua. Mengusung tema ‘PSN Merauke: Dampaknya pada Masyarakat Adat dan Alam Papua’, dilaksanakan pada Senin, 04 November 2024 di STF Driyarkara Jakarta. Seminar ini dilaksanakan secara hybrid (offline dan online). Panitia menghadirkan para pembicara yakni Simon Balagaize (Ketua Forum Masyarakat Adat Malind dan Forum Solidaritas Merauke), Franki Samperante (Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat), Profesor Damayanti Buchrori dari Departemen Proreksi Tanaman Fakultas Pertanian Center for Transdisplinary and Sustainability Sciences IPB dan Dr. Budi Hernawan (Dosen STF Driyarkara).
Dalam sambutannya, Ketua STF Diryarkara Romo Dr. Simon Lili Tjahjadi menjelaskan bahwa STF Diryarkara didirikan untuk mencerahkan budi dan mendorong aksi peduli terhadap persoalan sosial.
“Keprihatinan dan harapan umat Papua adalah keprihatinan dan harapan STF juga. Semoga ada solusi yang bisa disampaikan kepada pihak-pihak yang terkait. Kali ini STF bersama Yayasan Pusaka Bentala Rakyat bekerjasama sambil berharap ada hasil yang bermanfaat bagi Papua”, ungkap Romo Simon dalam sambutannya.
Ruang Diskusi
Ketua Forum Masyarakat Adat Malind dan Forum Solidaritas Merauke, Simon Balagaize mengawali kisah perjuangan masyarakat adat di Merauke. Berdasarkan data dan informasi yang ada, Simon menjelaskan bahwa sejak 2024, PSN di Merauke terbagi dalam beberapa zona, di beberapa kampung dan distrik. Pada Juni 2024 datang kapal pesiar dengan helikopter milik Haji Isham dari Jhonlin Group yang diterima pemerintah provinsi dan kabupaten. Perusahaan Haji Isham bersama Babinsa langsung bergerak dan menimbulkan keresahan di masyarakat adat. Tanggal 10 Agustus 2024 forum yang diikuti semua wakil masyarakat adat mengadakan rapat didampingi LBH yang kemudian melakukan aksi protes. Saat itu sudah datang banyak alat berat dari Jhonlin Group. Mantan Bupati Merauke, John Gluba Gebze mengadakan negosiasi dengan masyarakat adat sehingga alat-alat berat tersebut bisa diturunkan.
“Masyarakat adat ingin mempertahankan hutan dan tanah mereka dan menolak PSN serta kehadiran Jhonlin Group. Ada pertemuan dengan MRP Papua di mana masyarakat adat memprotes PSN. MRP Papua mengaku tidak tahu dan dilibatkan dalam soal PSN. Saat itu diadakan ritual adat masyarakat adat utk menolak PSN. Namun sudah ada hutan yang dibongkar sesuai peta PSN. Saat itu Mama Yasinta juga hadir dan ikut bersuara menolak PSN”, tutur Simon Balagaize dalam ruang Zoom.
Lebih lanjut Simon menjelaskan masyarakat adat di 13 distrik yang mayoritas beragama Katolik menolak PSN karena tidak diajak bicara. Dan Uskup Keuskupan Agung Merauke Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC sampai saat ini belum mau menerima masyarakat adat. Mgr. Petrus Canisius Mandagi MSC mengutus Sekjen Keuskupan Agung Merauke Pastor John Kandam dan Vikjen Pastor Hendrikus Kawirop MSC untuk menemui masyakarat.
“Statement Mgr. PC Mandagi MSC mendukung PSN yang dianggap baik untuk kemajuan masyarakat melukai masyarakat. Masyarakat terus protes kepada pemerintah dan hirarki. Bagi masyarakat adat di hutan itu ada roh dan jiwa leluhur dan orang asli Papua. Kalau hutan dirusak maka roh dan jiwa leluhur kami juga akan rusak dan hilang. Semua yang kami perlukan sebagai masyarakat adat ada di dalam hutan tersebut,” ungkap Simon.
Sejarah PSN ini diungkapkan oleh Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franki Samperante. Menurut Franki dan berdasarkan penelitian Yayasan Pusaka, saat MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) di zaman Presiden Susilo Bambang Judhoryono sudah terjadi pembabatan lahan dengan luas 2,5 juta ha. Kabupaten Merauke luasnya 4,5 juta ha. Artinya luas MIFEE adalah lebih dari setengah luas Kabupaten Merauke. Sedangkan PSN ini skalanya besar dan luas lewat mekanisme pasar dan korporasi yang tidak mungkin dilakukan masyarakat setempat. Masyarakat adat sebenarnya tidak terlibat dalam soal sawah dan tebu utk bio etanol. Masyarakat adat sebenarnya hidup dengan cara yang tradisional dengan ubi, keladi, dan sagu.
“Perusahaan yang dilibatkan dalam proyek Food Estate di Merauke adalah Jhonlin Group milik bapak Andi Syamsuddin Aryad yang dikenal dengan panggilan Haji Isham dari Kalimantan Selatan. Sementara itu dari 10 perusahaan dengan izin lebih dari 500 ribu Ha untuk mengelola kebun tebu pemilknya hanya terkait dengan 2 orang yaitu Wilmar Sitorus dan keluarga Fangiono dari konsorsium Global Papua Abadi. Perampasan tanah itu lewat regulasi pemerintah yaitu bahwa pemerintah bisa melepaskan zonasi kawasan hutan utk proyek yang dianggap strategis oleh negara. Zonasi untuk hutan lindung atau untuk budidaya itu dibuat negara. Terjadilah perampasan tanah menggunakan alat kekuasaan dan alat kekerasan negara khususnya dengan melibatkan Kementrian Pertahanan yang dipimpin Letjen Muhammad Herindra sebagai Wakil Menhan dan Mayjen Ahmad Rizal Ramdhani sebagai Kepala Satgas Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian”, jelas Franki dalam pemaparan materinya.
Profesor Damayanti Buchrori dari Departemen Proreksi Tanaman Fakultas Pertanian Center for Transdisplinary and Sustainability Sciences IPB memaparkan materinya terkait Dampak Perubahan Lanskap Terhadap Keanekaragaman Hayati dan Keseimbangan Ekosistem. Menurut Damayanti, perubahan lanskap tentu akan mengurangi biodiversity dan ecosistem services. Interaksi biodiversity akan berkurang bahkan bisa musnah. Proses-proses di alam seperti penyerbukan berubah dan pest control pasti berubah bahkan musnah ketika lanskap berubah. Siklus hara dan nutrisi juga berubah. Profesor Damyanti memandingkan dengan penelitiannya di wilayah Jambi, Sumatera. Dalam penelitian 12 tahun di Jambi ketika hutan diganti kebun sawit maka dampaknya terhadap biodiversity sangat drastic. Jumlah spesies dan kelimpahannya berubah drastis seperti semut, laba laba, kumbang, kupu kupu, tawon, burung, dll. Ketika dari hutan primer diubah menjadi kebun karet biodiversity masih lumayan mirip, tapi ketika diubah menjadi kebun sawit berubah drastis.
“Makna perubahan lanskap Merauke tahun 2015 ke 2023 itu bukan perubahan land use saja tapi perubahan total hutan yang hilang dan rusak. Mahatma Gandhi mengatakan the roots of violence antara lain science dan politics without humanity. Menurut IPBES 2022, kita perlu memperhatikan living from, living in, living with, dan living as… Hal itu sudah lama dijiwai masyarakat adat yang sangat memahami alam sangat dalam karena memahami manusia sebagai bagian dari alam. Biocultural diversity itu sangat penting. Ada paradigma kapitalis yg harus kita ubah. Apakah kita mau belajar dan berubah”, ungkap Prof. Damayanti ketika membawakan materinya.
Dr. Budi Hernawan Dosen STF Driyarkara mengangkat topik materinya ‘Gusur dan Duduki Mereka Saja Sekarang; refleksi filosofis Program Food Estate dan Energi di Papua Selatan’. Mengawali penjelasan materinya, Dr. Budi menggunakan kerangka “postcolony” dari Achille Mbembe dengan 4 ciri yaitu komunitas yang muncul dari masa lampau sebagai yang terjajah dan penuh kekerasan, carut marut tapi memiliki logika internal yang koheren, politik improvisasi, dan rezim kekerasan. Lebih lanjut lagi Dr. Budi Hernawan bertutur sejarah singkat Interaksi Papua Selatan dengan dunia luar dimulai tahun 1902 ketika Belanda mendirikan pos, tahun 1905 ketika misonaris MSC pertama tiba, tahun 1910 ketika dimulai transmigrasi Belanda, tahun 1962 ketika terjadi pengungsian orang Papua ke PNG, tahun 1966 ketika transmigrasi pemerintah Indonesia dimulai, tahun 1984-1986 ketika terjadi eksodus 11 ribu orang Muyu ke PNG, dan tahun 2006 ketika 43 orang Papua mengungsi ke Australia. Di Papua sekarang ada 6 provinsi. Papua Selatan penduduknya 268 ribu org dengan luas seluas Pulau Jawa. Ada 50 ribu orang Malind yg terdampak PSN. Lima titik konflik di Papua adalah Maybrat, Paniai, Intan Jaya, Nduga, dan Pegunungan Bintang.
“Carut marut privatisasi korporasi dengan logika bancakan di mana masyarakat adat tidak terjangkau pengambil keputusan. Ada 10 PSN di Merauke yang sangat luas dan tidak melibatkan masyarakat adat. Ada politik improvisasi. Ketika masyarakat adat di Merauke sudah tergusur juga ada isu transmigrasi yang memunculkan protes yang lebih luas di seluruh Papua. PSN menyebabkan dampak sosial dan dampak lingkungan yang serius. PSN itu sudah cacat bawaan sejak identifikasi masalah, perumusan kebijakan, penyusunan agenda, dan monitoring serta evaluasi. Dampak paling serius adalah kekerasan terhadap kosmos orang Malind ayitu alam ciptaan (tanah, air, rawa, hutan, satwa, tumbuhan), manusia, dema (roh leluhur, tempat sakral dan mitis). Dema adalah adaan yang hidup secara mitis, leluhur, nenek moyang, dengan totem totem mereka. Dema itu tremendum et fascinosum. Dema itu dunia kebanggaan orang Malind yang jauh lebih berharga dan penting daripada bangunan rumah. Saat ini ada kekosongan pemahaman tentang sistem kepercayaan orang Malind”, jelas Dr. Budi Hernawan.
Lebih lanjut Dr. Budi menjelaskan saat ini yang terjadi bukan hanya deforestasi dan kehilangan biodiversity tapi penggusuran kosmos orang Malind yang menuju kepunahan yang tidak dipahami logika pasar yang positivisme dan monoteisme. Diakhir dari pemaparan materinya, Dr. Budi menawarkan solusi berdasarkan uraian yang telah disampaikannya.
“Salah satu solusi minus malum adalah tawaran kompensasi kerusakan kosmos bukan dengan dana tunai tapi dana abadi dan layanan publik yang berkelanjutan menyangkut air minum, pangan, kesehatan, pendidikan, cagar budaya, serta menghormati dan merawat dema yang menjamin eksistensi orang Malinda tau Malind-Anim. Ini adalah tawaran minus malum karena PSN sudah cacat bawaan sejak awal dan tidak akan bisa memenuhi janjinya”, jelasnya.
Salah satu peserta yang juga adalah perwakilan masyarakat adat Marind Merauke, Pastor Pius Manu Pr (imam Keuskupan Agung Merauke) menjelaskan bahwa hidup masyarakat Suku Marind ada dua lingkaran terpadu antara yang nyata dan yang sakral. Irisan yang tengah itu adalah kehidupan yang dialami. Ketiga lingkaran itu dialami sebagai keterpaduan hidup. Yang nyata dan yan sakral berjalan bersama. Alam itu juga antara yang nyata dan yang sakral. Totem kami dari alam misalnya totem kelapa. Ketika alam digusur maka akan ada banyak masalah kehidupan, sosial, psikologis, lingkungan, dll.
“Saya dibesarkan di hutan di mana di situ ada dema saya, hidup lahir batin. Di hutan itu juga kuburan kami. Kami tidak berkebun di hutan. Ubi, keladi, dan sagu ditanam bukan di hutan tapi di antara hutan dan rawa. Setiap musim hujan akan ada humus dari hutan yang masuk ke kebun. Hutan dan rawa tidak pernah dirusak. Kami berkebun berpindah pindah setiap 3 tahun. Dan kami berkebun hanya bisa di tanah marga kami. Kami tidak mungkin berkebun di tanah marga lain. Kalau PSN dipaksakan, kami akan konflik antar marga. Populasi orang Malind akan terdampak. Lingkungan alam juga terdampak. Tidak ada sosialisasi dan tiba-tiba ada perusahaan bongkar hutan tanpa sosialisasi, tanpa pengetahuan DPRD, MRP, DPD, dan masyarakat. Kami mau mengadu kepada siapa lagi? Sebagai masyarakat yang punya tanah, kalau tanah diubah jadi PSN lalu tanah itu jadi punya siapa? Jangan sampai kami masyarakat adat yang mempunyai tanah didepak padahal kami sudah ada sebelum negara ada”, jelas Pater Pius Manu Pr.
By Admin (disadur dari laporan Romo Ferry SW)