“Sejak tahun 1999 yang dulu masih SKP dan berkembang menjadi SKPKC Fransiskan Papua atau yang sekarang kami sebut dengan JPIC OFM Papua telah konsisten mendokumentasikan situasi hak asasi manusia. di Tanah Papua melalui buku Seri Memoria Passionis. Memoria Passionis ini berasal dari seorang theolog Katolik yang namanya John Baptis Mets yang yang menafsirkan penderitaan Yesus Kristus di kayu salib bukan hanya sebagai tragedi, tetapi juga sebagai sumber harapan dan kebangkitan. Memoria Passionis mengajak kita untuk tidak sekadar mengenang penderitaan, tetapi menjadikannya daya dorong untuk mengubah kehidupan menuju keadilan, perdamaian, dan penghormatan terhadap martabat manusia serta alam ciptaan. Bagi kami di JPIC OFM Papua, situasi HAM di Tanah Papua adalah bentuk nyata dari memoria passionis—ingatan akan penderitaan yang dialami oleh mereka yang kecil dan terpinggirkan. Ingatan ini mengundang kita semua, yang berkehendak baik, untuk bersolider dengan manusia dan alam Papua yang semakin hari semakin terancam”
Rangkaian kalimat di atas merupakan sebagian isi sambutan Direktur Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) Ordo Fratrum Minorum (OFM) Papua P. Alexandro F Rangga OFM yang dibacakan oleh Bernard Koten di Aula Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Kamis, 28 Agustus 2025.
Buku Seri Memoria Passionis merupakan terbitan wajib setiap tahun oleh JPIC OFM Papua tentang situasi Hak Asasi Manusia di Papua. Konsistensi JPIC OFM Papua ini merupakan tanggung jawab moral kepada semua orang, khususnya orang asli Papua yang dilayaninya. Selain itu mencoba memberikan gambaran secara holistic persoalan HAM yang dialami dan dirasakan orang-orang kecil di Tanah Papua.
Sejak tahun 2017 sampai saat ini JPIC OFM Papua secara rutin menyampaikan kabar situasi HAM Papua kepada publik di luar Papua. Beberapa tempat yang sering didatangi adalah Jakarta dan Yogyakarta. Di tahun 2024, JPIC OFM Papua mencoba ke Surabaya. Di tahun 2025, JPIC OFM Papua melanjutkannya ke Kota Kupang, Bandung dan Manado. Biasanya diskusi dan launching buku tersebut dilaksanakan bersama dengan kaum muda yang pada umumnya diikuti oleh mahasiswa dari perguruan tinggi di wilayah tersebut. Di Yogyakarta, JPIC OFM pernah melaksanakannya dengan Mahasiswa di Sanata Dharma dan Universitas Gajah Madha, di Jakarta bersama mahasiswa di Universitas Paramadina dan di Manado bersama dengan mahasiswa di Universitas Katolik De La Salle Manado.
Kisah dari Yogyakarta
Pada Kamis, 28 Agustus 2025, di Aula Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, JPIC OFM Papua bersama dengan LSJ Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta melaksanakan diskusi buku Seri Memoria Passionis (MP) No.43 “Tong Bicara Tapi Dong Jalan Terus”, Kronik dan Analisa Kronik HAM Papua 2024. Moderator Diskusi Dr. Herlambang P. Wiratraman (Dosen Hukum UGM) dalam kata kata pengantarnya menilai substansi dari buku Seri MP No. 43 sangat penting untuk didalami. Persoalan atau kisah di dalam buku ini sangat penting bagi pihak luar yang tidak mengetahui dan memahami secara baik dan benar tentang Papua.
“Bukunya ada di depan. Jangan ragu ya. Saya sudah mendapatkan bukunya. Ini cetakan eksklusif sebenarnya, maksudnya printednya bukan kertas biasa ini. Bagus dan saya bukan cerita bagus soal printednya tetapi substansinya adalah bagian penting untuk memahami persoalan hak asasi manusia di Papua. Praktis selama ini kita mendapatkan kasus di Papua itu tak pernah berhenti, dan terus menerus terjadi. Dan kadang saya berpikir bagaimana jalan keluarnya atas kekerasan yang terus menerus ini. Karena dari waktu ke waktu kekerasan itu tidak ada proses pertanggungjawabannya”, ungkap Herlambang dalam sambutannya.

Lebih lanjut, Herlambang menilai kekerasan yang terjadi di Papua dapat merefleksikan dirinya sebagai institusionalisasi rasisme, tapi ini tidak disebut sebagai persoalan rasisme. Persoalan ini bukan terletak pada profesionalisnya pihak kepolisian, penegak hukum tetap ini rasisme yang terinstitusionalisasi.
Markus Togar, salah satu panelis buku menjelaskan bahwa judul buku ini menjelaskan kepada kita bahwa Orang Papua teriak tetapi Negara Ngak pernah mendengarkan. “Buku ini judulnya adalah ‘Tong Bicara Tapi Dong Jalan Terus’. Tong itu adalah orang asli Papua, Dong itu adalah Negara dan aparaturnya, kalau disambungkan kira-kira Orang Papua teriak tetapi Negara Ngak pernah mendengarkan begitu. Makanya secara penggunaan narasi, buku ini unik karena dia pakai orang Papua begitu. Yang kemudian membuat kita sebagai pembaca bisa memahami perspektif lokal. Artinya ada argumentasi yang hendak dipromosikan dari buku secara button up, dari bawa ke atas”, jelas Mark dalam penjelasannya.
Selanjutnya Markus menguraikan situasi keterlibatan militer dalam Program Strategis Nasional di Papua, khususnya di wilayah Selatan Papua, Merauke. “Nah dalam konteks PSN keterlibatan militer itu biasa disebut Green militer atau militerisasi hijau. Laporan Tempo kalau tidak salah tahun lalu judulnya TNI lebih sibuk di luar barak. Dia menyebutkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh tentara dalam konteks proyek PSN, adalah sebatas mengemudikan traktor dan menanam padi begitu. Kita bisa bayangkan ketimbang Negara ini tidak utamakan sistem perekonomian berbasis kerakyatan tetapi yang dipilih adalah sistem perekonomian, pertanian berbasis tentara dan senjata begitu. Tak heran kemudian pelanggaran-pelanggaran HAM di Papua terjadi secara massif”, ungkap Mark.
Pastor Goklian Haposan OFM, salah satu penulis buku ini menjelaskan bahwa buku hanya mengungkapkan fakta yang terjadi. Kekuatan buku ini terletak pada catatan kronik. Catatan kritis atau analisa yang tertulis di dalam buku ini merupakan perspektif dari para penulis. Terbuka luas untuk para pembaca menganalisanya. Pater Goklian menyoroti situasi kebebasan berekspresi yang selalu dibungkam. Suara kritis masyarakat Papua untuk kebenaran dan keadilan selalu direpresif.
“Kami hanya mengungkapkan fakta. Kami tidak tahu apakah ini negative atau positif. Saya sendiri karena kebetulan berlatar belakang hukum, di dalam buku ini mencoba melihat situasi yang terjadi di tahun 2024, terkait dengan realita hukum, bagaimana upaya orang-orang setempat, di Papua, ketika menyampaikan aspirasi, ketika menyampaikan pendapat, selalu direspon secara konfrontatif, represif. Di dalam buku ini kami memperlihatkan situasi yang terjadi di tahun 2024, setiap kelompok yang menyampaikan aspirasi, selalu direspon secara konfrotatif dan represif. Padahal ada pernyataan banyak orang, pengamat militer, ia mengatakan bahwa sampai sekarang, pendekatan-pendekatan yang dilakukan secara konfrontatif dan reprensif itu tidak pernah memberikan hal yang positif. Bahkan seperti yang kami lihat semakin menimbulkan luka. Kenangan-kenangan penderitaan lagi bagi rakyat Papua”, jelas Pater Goklian ketika memaparkan isi buku tersebut.
Ibu Almonika Cindy Fatika Sari dari Djojodiguno Institute yang juga pengajar di Fakultas Hukum UGM menjelaskan fakta yang digambarkan di dalam buku ini sangat sulit kita temukan di media nasional pada umumnya. Lebih lanjut Monik mengatakan bahwa persoalan ketahanan dan keamanan Negara saat ini bukan lagi soal batas territorial, keluar dari Negara, tapi sampai pada urusan perut. Hal ini mau menunjukan bahwa semua lini kehidupan di Indonesia saat ini dikuasai oleh militer.
“Jadi soal hutan yang rusak, masyarakat adat yang hancur, soal korupsi, adanya militeristik. Dan sekarang ketahanan dan keamanan Negara itu bukan lagi soal batas territorial, keluar dari Negara, tapi sampai pada urusan perut begitu. Ditambah lagi sekarang ada urusan energy. Yang mana sebenarnya dua barang ini, saat ini di seluruh dunia mengalami krisis. Dan berlomba-lomba Negara mana nih yang menghasilkan energy dalam jumlah yang besar dan kemudian dinilai mampu untuk menyelesaikan persoalan krisis global. Menurut saya, kejadian-kejadian yang ditulis di dalam buku ini saling bertautan. Misalnya kasus Korupsi itu tidak bisa dilepaskan atau dibaca terpisah dari kejadian kekerasan, soal konflik bersenjata, soal kehadiran perkebunan sawit, kehadiran pertambangan, kehadiran logging”, ungkap Monik dalam penjelasannya.

Kisah dari Manado, Sulawesi Utara
Kegiatan diskusi buku MP no 43 ‘Tong Bicara Tapi Dong Jalan Terus’, Kronik dan Analisa HAM Papua 2024 dilanjutkan di Manado, Sulawesi Utara. JPIC OFM Papua menggandeng JPIC Dina Santo Yoseph (DSY) Manado dan Fakultar Hukum Unika De La Salle Manado membedah buku tersebut, Berbeda dengan Yogyakarta, pada kesempatan ini JPIC OFM Papua melibatkan Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) untuk menjelaskan situasi HAM Papua ke publik di luar Papua. Berdasarkan kesepakatan dan kesiapan tim, diskusi buku tersebut dilaksanakan pada Kamis, 02 Oktober 2025 di Ruang Labor Fakultas Hukum Unika De La Salle Manado.
Dalam sambutannya, Dekan Fakultas Hukum Unika De La Salle Manado Hellena B. Tambajong menjelaskan bahwa buku dengan judul ‘Tong Bicara Tapi Dong Jalan Terus’ sangat menggugah. Judul buku yang menggunakan bahasa keseharian di Papua yang penuh makna dan kedalaman. Buku ini mengajak kita untuk tidak banyak bicara tetapi juga bertindak.
“Buku ini merupakan pernyataan politik, budaya, dan sosial. Ia tidak hanya mengomentari keadaan, tetapi juga menantang dan mendorong kita untuk bertindak, terutama dalam konteks Papua. Suara dan tindakan harus berjalan beriringan. Buku ini mengingatkan kita pentingnya konsistensi antara apa yang kita katakan dan apa yang kita lakukan. Diskusi ini diharapkan menjadi ruang refleksi, untuk memperkuat semangat agar kita tidak hanya menjadi pengamat, tetapi juga pelaku perubahan”, ungkap Hellena dalam sambutannya.
Pastor Goklian Haposan OFM dalam penjelasannya mengatakan bahwa judul buku ini sebenarnya mengkisahkan sebuah kenyataan yang dialaminya terkait dengan kerusakan hutan, kisah tentang membangun perdamaian dan lain sebagainya.
“Mengapa buku edisi kali ini diberi judul Tong Bicara tapi Dong Jalan Terus? Berangkat dari sebuah kenyataan, ketika kami terus bicara tentang kerusakan hutan, mereka terus melakukan pengrusakan hutan, dengan alasan ekonomi. Ketika kami berbicara tentang perdamaian, mereka terus berupaya menghadirkan konflik dengan berbagai program yang seolah-olah memberikan dampak yang baik bagi masyarakat padahal sebenarnya tidak demikian”, sekilas penjelasan Pastor Goklian.
Lebih lanjut Pastor Goklian mengatakan bahwa buku ini terdiri dari delapan (8) bab yang berisi tentang kerusakan hutan, penegakan hak asasi manusia, konflik dan kekerasan, korupsi, Pemilu, pendidikan dan kesehatan, kebebasan berekspresi dan masalah narkoba dan Miras di kalangan orang asli Papua.
Antonius Naiaki atau biasa yang panggil Ibra dari AlDP menjelaskan bahwa di dalam buku ini dikatakan ekonomi adalah paling dasar. Berbicara ekonomi berarti tata kelola dalam rumah tangga. Apakah kita mau merusak lingkungan yang adalah rumah kita. Bagi warga Papua hutan bukan saja sumber daya alam, tetapi juga bagian dari identitas, budaya, dan keberlangsungan hidup masyarakat Papua.

Selain itu Ibra menyoroti kekerasan dan konflik yang tak kunjung henti di Papua. Konflik ini terjadi karena ada pemasokan senjata api ke Papua. Berbicara tentang deforestasi, sebagaimana terjadi di Papua Selatan, setiap tahun kami melakukan pendataan mengenai penambahan pasukan di Papua.
“Selain itu, kami juga meneliti praktik transaksi amunisi dan senjata api, di mana Manado menjadi salah satu pintu masuk dalam proses transaksi tersebut. Di papua ada 3 satgas untuk mengamankan investasi, untuk menindak kelompok separatis, dan mengenai wilayah perbatasan, yang menjadi pintu masuk senjata api dan amunisi. Selain itu, ada satgas yang dibentuk di tahun 2025, yaitu satgas pangan. Banyak masyarakat Papua tidak mengetahui secara jelas fungsi dan tujuan satgas pangan. Deforestasi menjadi isu ini dari tahun ke tahun tidak terkendalikan. Hal ini muncul sebagai protes masyarakat adat tentang kerusakan hutan yang terus dibicarakan dan disuarakan, tetapi pemerintah sebagai pejabat berwenang justru mengabaikan itu”, jelas Ibra.
Ferlansius Pangalila yang adalah Aparatur Sipil Negara di Manado menilai bahwa membaca buku ini kita menemukan seakan-akan semua kejahatan terjadi di Tanah Papua. Ketika berbicara persoalan HAM berarti berbicara kejahatan yang struktural. “Buku ini bukan hanya sekadar laporan tahunan, melainkan juga sebuah memori kolektif tentang luka, harapan, dan perjuangan masyarakat Papua. Hal Ini menunjukkan bahwa permasalahan yang terjadi di tanah papua sampai saat ini belum selesai. Melalui buku ini, kita melihat seakan-akan semua kejahatan ada di tanah papua. Tahun lalu saya menemukan pengedaran narkoba mulai dari daerah Jayapura sampai pada Pegunungan Wamena”, ungkap Ferlansius.
Lebih lanjut Ferlansius melihat kekuatan buku MP No. 43 ini. Menurutnya, ada empat kekuatan buku metode kroniknya, analisis kritisnya, rekomendasi strategisnya dan suara lokalnya.
“Metode kronik, yakni merekam secara runtut peristiwa 2024 sehingga menjadi memoria passionis: ingatan akan penderitaan yang sulit dihapus. Analisis kritis, yakni setiap bab tidak berhenti pada deskripsi, tetapi mengungkap akar struktural: dari ekonomi-politik, militerisasi, hingga krisis sosial. Rekomendasi strategis, yakni tidak berhenti pada kritik, tetapi menyajikan solusi konkret. Suara lokal, yakni memberi ruang pada pengalaman masyarakat adat, mahasiswa, dan kelompok sipil”, jelas Ferlansius dalam pemaparannya.
Panelis lainnya, Dosen Hukum di Fakultas Hukum De La Salle Manado, Yulia Vera Momuat menuturkan bahwa setiap bab dari buku jelas memberikan rekomendasinya. Fakta terkait kerusakan hutan dan perlawanan masyarakat adat Papua serta tanggapan Negara yang berlebihan memberikan gambaran bahwa pemerintah saat ini sesat pikirannya.
“Deforestasi besar-besaran di Papua akibat proyek sawit, KEK Merauke, PSN, dan izin industri (total ratusan ribu hektar hutan hilang). Masyarakat adat kehilangan tanah ulayat, protes diabaikan, bahkan mendapat represi. Aksi perlawanan rohani menjadi simbol perlawanan. Pemerintah dinilai sesat pikir karena melawan krisis iklim dengan deforestasi baru”, ungkap Yulia.
Lebih lanjut Yulia menilai kekerasan yang tak kunjung henti sehingga menyebabkan gelombang besar pengungsian dan ruang publik semakin terancam, impunitas, semakin memperpanjang lingkaran kekerasan di Tanah Papua. Selain itu ruang kritis di muka umum dibungkam dan banyak aktivis, mahasiswa dan jurnalis dikriminalisasi dan dintimidasi oleh aparat keamanan.
Panelis ketiga, Primus Aryesam yang juga Dosen Fakultas Hukum De La Salle mempertanyakan impunitas dalam sistem Negara Indonesia ini tergolong suatu gejala atau kondisi. Hal ini terkait dengan unfeeling atau ketidakmauan pemerintah untuk melenyapkan impunitas, yang dalam konteks ini terjadi pada aparat militer Indonesia.
“Bertolak dari hal ini, dapatlah dicermati lebih dalam tentang sistem pemerintahan Indonesia, mulai dari pemimpin tertinggi presiden dan jajarannya para menteri. Dalam hal ini boleh disinggung tentang pengangkatan Natalius Pigai, sebagai orang asli papua menjadi menteri Hukum dan HAM Indonesia dapat menjamin keberlangsungan yang baik keadilan dan HAM bagi masyarakat Papua? atau ini hanyalah taktik dari pemerintah untuk meredakan tuntutan yang ada dari masyarakat Papua”, jelas Primus dalam paparannya.
Lebih lanjut Primus melihat soal pendekatan pembangunan. Menurut Primus, sejatinya warga telah memberikan kepercayaanya kepada pemerintah dan sebagai konsekuensi logis adalah pemerintah hendaknya menjamin hak-hak masyarakat terutama hak untuk hidup dan memperoleh keadilan.
“Kemudian tentang pendekatan developtmentisem. Para penulis buku sangat baik dalam memberi kritik dan saran yang tajam dalam mengulas permasalahan-permasalahan . Mereka melihat akan adanya kesalahan kebijakan yang diambil oleh pemerintah, dalam konteks menjaga HAM orang Papua. Karena sejatinya secara yuridis sebagai warga negara, masyarakat telah menyerahkan menyerahkan hak-haknya kepada pemerintah, sehingga sebagai konsekuensi logis pemerintah hendaknya menjamin setiap Hak-Hak masyarakat terutama hak hidup dan memperoleh keadilan. Berhadapan dengan kebijakan pemerintah yang menggerakan militer untuk mengamankan Papua dan dampaknya kematian banyak orang, sejatinya dapat digolongkan sebagai kesalahan kebijakan dari pemerintah. Pemerintah seharusnya menjadi payung bagi masyarakat dengan menjamin Hak dan keadilan bagi Masyarakat”, penjelasan lanjutan Primus dalam paparannya.
Diakhir dari diskusi ini, para peserta diskusi dan panelis buku membuat pernyataan bersama. berikut ini adalah pernyataan bersamanya
“Tong Bicara, Tapi Dong Jalan Bersama”
Kami, peserta diskusi buku Memoria Passionis No. 43, yang terdiri dari akademisi, mahasiswa, pemerhati Papua, menyatakan keprihatinan mendalam atas situasi ketidakadilan yang terus berlangsung di Tanah Papua. Dengan mengangkat suara-suara dari akar rumput, kami menyadari bahwa penderitaan bukan sekadar catatan sejarah, melainkan panggilan untuk bertindak. Kami menolak sikap diam dan apatis terhadap:
- Perampasan tanah dan hutan adat
- Kekerasan bersenjata dan pelanggaran HAM
- Pembatasan ruang demokrasi dan kebebasan berekspresi
- Ketimpangan akses pendidikan dan kesehatan
- Maraknya narkoba dan HIV/AIDS di kalangan muda
- Proyek pembangunan yang mengabaikan partisipasi masyarakat lokal.

By Admin